REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yunahar Ilyas menilai istilah kafir perlu melihat konteks penggunaannya. Menurutnya dalam bernegara atau dalam tataran muamalah atau sosiologis, penggunaan kata kafir secara langsung terhadap warga negara non-Muslim tak dibenarkan.
“Harus dilihat konteksnya, kalau hubungan muamalah ya kita memanggilnya saudara-saudara yang tidak beragama Islam saudara saudara non-Muslim, jangan disapa dengan kafir,” kata Yunahar kepada Republika.co.id Ahad (3/3).
Namun jelas Yunahar, istiah Kafir juga sah digunakan dalam konteks teologis. Berbicara masalah agama dan iman semisal dalam kajian keislaman atau ceramah, itulah tersbeut boleh dipakai. Sebab jelas dia, Al Quran sendiri yang menjelaskan bahwa yang tak beriman masuk kategori kafir ataupun musyrikin. “Kalau dalam pengajian ya biasa saja, menerangkan Al Kafirun ya terangkan mereka kafir,” katanya.
Menurut Yunahar tak ada masalah dengan hasil Bahtsul Masail dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama beberapa waktu lalu. Kendati demikian, menurutnya PBNU harus menjelaskan lebih rinci kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Diketahui diantara beberapa poin hasil Bahtsul masail dalam Munas dan Konbes NU di Banjar, Jawa Barat menyebutkan bahwa tak boleh menggunakan istilah kafir terhadap WNI yang non-Muslim.