Ahad 10 Mar 2019 05:05 WIB

Keikhlasan Keluarga Ibrahim

Ketaatan adalah manifestasi iman yang kuat.

Gurun pasir (ilustrasi)
Foto: tangkapan layar Reuters/David Rouge
Gurun pasir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dua titik kecil di tengah gurun pasir Semenanjung Arabia. Seorang lelaki pergi bergegas diikuti perempuan yang menggendong bayi. Imam Bukhari meriwayatkan, hanya sebuah buntalan berisi kurma dan segeriba air pada mereka. "Hai Ibrahim. Hendak ke mana kau pergi dan meninggalkan kami di lembah tanpa teman atau perbekalan untuk mencukupi kebutuhan kami di sini?"

Hajar, perempuan itu, terus membuntuti Ibrahim. Ia lontarkan pertanyaan berulang kali, tapi Ibrahim bergeming. Hatinya resah. Ia seorang perempuan, membawa anak bayi, dan hendak ditinggalkan begitu saja di tengah padang pasir. Tak mendapat jawaban, Hajar pun bertanya, "Allah-kah yang menyuruhmu untuk melakukan hal ini?"

"Ya," jawab Ibrahim singkat. "Kalau begitu, Ia tidak akan menelantarkan kami."

Peristiwa itu terjadi semasa Ismail bayi. Saat itu, setiba di bukit Tsaniyah, tempat Hajar dan Ismail sudah tidak kelihatan lagi, Ibrahim menengadahkan tangan. "Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami, yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat." 

Dalam kisah yang terabadikan di surah Ibrahim ayat ke-38, Ibrahim pun meminta, "Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."

Ujian keikhlasan

Zaman terus berganti. Hajar telah wafat, sedang Ismail tumbuh besar sebagai pemuda yang saleh. Padang pasir tempat keduanya ditinggalkan telah berubah menjadi tempat pemberhentian kafilah yang ramai. Sebuah sumber mata air menghidupi mereka dan orang-orang di sekelilingnya. Ismail pun dikisahkan kemudian menikah dengan salah satu perempuan dari keluarga pendatang di sana.

Sampai tibalah satu hari yang mengubah sejarah anak cucu Ibrahim. Hari itu, Ibrahim datang menemui Ismail. Ia membawa sebuah amanah penting dari Tuhannya. "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?" ucap Ibrahim setiba bertemu putranya. 

Dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiya', terus terang Ibrahim utarakan perintah itu agar ia pun lebih rela dan ringan dalam menjalankannya.

Seperti dikatakan Ibnu Abbas, "Impian para Nabi adalah wahyu." Lewat mimpi itu, Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih Ismail. Ini tentu menjadi ujian yang berat bagi Ibrahim. Ismail baru lahir setelah Ibrahim lanjut usia. Kini, ia diperintahkan menyembelih anak yang bertahun-tahun lalu dia mohon sepenuh hati kepada Tuhannya. "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh."

Kemudian, Allah karuniakan kepadanya seorang anak yang sangat sabar bernama Ismail. Seorang anak yang dulu, atas perintah Rabb-nya, dia tinggalkan di tengah padang pasir tak berpenghuni, tanpa perbekalan yang cukup. Hanya berbekal iman dan tawakal bahwa Allah akan memberi jalan keluar bagi mereka. 

Ismail beranjak dewasa, Allah justru menyuruh Ibrahim untuk menyembelihnya. Ibnu Katsir menjelaskan, Ismail disembelih "ketika anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersamanya," artinya ketika ia beranjak dewasa dan bisa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri seperti ayahnya.

Demi mendengar perkataan ayahnya, Ismail menjawab, "Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." Inilah puncak ketaatan seorang anak kepada ayahnya sekaligus kepada Allah, Sang Pencipta. Keduanya berserah diri pada kehendak Allah.

Rahmat Allah 

Singkat kata, Ibrahim kemudian membawa putranya ke suatu tempat dan membaringkan tengkurap layaknya hewan saat akan disembelih. Ketika pisau hendak digerakkan ke arah leher Ismail, Allah memanggil, "Wahai Ibrahim, engkau telah membenarkan mimpi itu." Tujuan perintah itu telah tercapai. Allah hanya ingin menguji dan menyaksikan ketaatan Ibrahim. Allah gantikan Ismail dengan seekor hewan kurban yang besar, sebagaimana dulu Allah lindungi Ibrahim dari kobaran api. "Sesungguhnya, ini benar-benar suatu ujian yang nyata," firman Allah dalam surah as-Shaffat [37]: 99-113.

Kisah ini mengajarkan keimanan, ketaatan, kesabaran, ketawakalan, dan penghambaan yang penuh dari dua manusia pilihan. Merenungi kisah Ibrahim dan Ismail, umat Islam kemudian diperintahkan berkurban dalam Hari Raya Idul Adha. Tidak sebatas ritual kepada Allah, perintah ini memiliki dimensi sosial. Di tengah mahalnya harga daging, kurban juga menjadi momen pengingat dan sarana berbagi dengan kaum yang papa di sekitar kita.

Bahwa, ada bagian dari umat yang hanya bisa makan daging setahun sekali. Ada bocah-bocah yang tak sabar menunggui ibunya memasak daging lantaran tak pernah mencecap rasanya lagi semenjak Idul Adha yang lalu. Karena itu, apabila perintah ini masih terasa berat, patutlah kita mempertanyakan seberapa kecil ketaatan kita.

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement