REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin (jilid II, hlm. 381), hujjatul islam Imam al-Ghazali berpesan. Menurut dia, "Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya. Dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama.
Dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan."
Sebagai seorang ulama besar, Imam Ghazali kerap mengkritisi penguasa yang mulai melenceng dari kaidah Islam. Demikian pula, ketika dia mengingatkan para pemimpin politik mengenai prioritas hukum-hukum Allah SWT.
Karyanya yang berjudul al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk menampung banyak pemikiran Imam Ghazali seputar politik. Buku itu juga dimaksudkan sebagai nasihat-nasihat yang ditujukan kepada penguasa politik, utamanya Sultan Muhammad bin Malik Syak dari Dinasti Saljuk.
Secara keseluruhan, kandungan buku al-Tibr al-Masbuk itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, prioritas Imam Ghazali terhadap kekuatan akidah tauhid. Kedua, nasihat-nasihat dari sang penulis tentang moral, keutamaan ilmu, keadilan, dan peran penting ulama.
Penguasa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir selalu menjaga sikap hati-hati (wara'). Tujuannya supaya mereka tidak terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, semisal menyengsarakan rakyat dan ketidakadilan.
Idealnya, seorang pemimpin--entah itu bernama sultan, khalifah, raja, atau presiden--mengikuti tuntunan alim ulama. Akan tetapi, Imam Ghazali juga menyebut adanya kelompok ulama yang tidak mampu menuntun umat dan pemimpin. Kelompok demikian dinamakannya sebagai ulama suu' (ulama yang culas).
Mengutip buku Koridor: Renungan A Mustofa Bisri, ulama dunia sebagai ulama suu' menggunakan ilmunya bukan lillahi ta'ala.
Ulama suu' memanfaatkan ilmu yang dititipkan oleh Allah Ta'ala justru untuk hal-hal duniawi semata. Termasuk di antaranya adalah mencari kedudukan dan popularitas di mata publik. Demikian pula, ulama suu' memilih dekat-dekat dengan penguasa. Hal itu mereka lakukan karena terlalu senang dunia dan takut mati.
Bagaimanapun, Imam al-Ghazali juga menegaskan adanya ulama yang sejati, yakni ulama al-akhirah. Mereka sama sekali tidak mengharapkan imbalan, baik itu harta maupun kedudukan atau kekuasaan.
Mereka inilah yang secara ikhlas menuntun umat dan menginginkan rahmat Allah bagi segenap kaum Muslimin. Mereka enggan melihat para pengikut Nabi Muhammad SAW terpecah-belah dan saling bermusuhan, saling menjelek-jelekkan, satu sama lain.