Selasa 23 Apr 2019 15:34 WIB

AS Ancam Veto Resolusi Soal Pemerkosaan Sebagai Senjata

Jerman berharap resolusi itu akan diadopsi pada sesi khusus dewan keamanan PBB.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Foto: Reuters/Heinz-Peter Bader
Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) mengancam akan memveto resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang penggunaan bahasa pemerkosaan sebagai senjata perang daripada kesehatan reproduksi dan seksual. Jerman berharap resolusi itu akan diadopsi pada sesi khusus dewan keamanan PBB tentang kekerasan seksual dalam konflik.

Salah satu elemen terpenting dalam resolusi itu telah dihapus, yakni pembentukan badan formal untuk memantau dan melaporkan kekejaman. Namun, oposisi AS yaitu Rusia dan Cina menentang pembentukan badan pengawas baru. Setelah badan formal dihapus dari resolusi tersebut, AS masih mengancam akan memveto versi yang lebih sederhana karena itu mencakup tentang dukungan terhadap korban dari klinik kesehatan.

Baca Juga

Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan Trump telah mengambil kebijakan garis keras yakni menolak menyetujui dokumen PBB yang merujuk pada kesehatan reproduksi. Hal ini menyiratkan AS mendukung tindakan aborsi.

"Kami bahkan tidak yakin apakah kami memiliki resolusi besok, karena ancaman veto dari AS," ujar Perwakilan Khusus PBB Pramila Patten kepada The Guardian, Selasa (23/4).

Dalam sejumlah ketidaksepakatan kasus di dewan keamanan, negara-negara anggota sering kali mundur dari teks yang telah disepakati sebelumnya. Namun, kali ini AS menegaskan mereka tidak mau menerima teks dari resolusi 2013 tentang kekerasan seksual.

"Mereka mengancam akan menggunakan hak veto mereka atas bahasa yang disepakati ini pada layanan kesehatan komprehensif termasuk kesehatan seksual dan reproduksi. Untuk saat ini kami tetap mempertahankannya, dan kami akan melihat selama 24 jam ke depan mengenai perkembangan situasi ini," kata Patten.

"Ini akan menjadi kontradiksi besar Anda berbicara tentang pendekatan yang berpusa pada orang yang selamat, dan Anda tidak memiliki bahasa pada layanan kesehatan seksual dan reproduksi, yang bagi saya adalah paling kritis," kata Patten.

Patten mengatakan, versi terakhir dari rancangan resolusi ini yakni mengakui kerja kelompok ahli informal tentang perempuan, perdamaian dan keamanan. Namun, Patten berpendaat sistem ini tidak menyediakan saluran yang konsisten untuk membuat pelanggaran kekerasan seksual menjadi perhatian dewan keamanan.

Dalam rancangan resolusi tersebut, frasa yang kontroversial hanya disebutkan satu kali yakni dalam kalimat mendesak entitas dan donor PBB untuk menyediakan layanan kesehatan yang tidak diskriminatif dan komprehensif, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, psikososial, dukungan mata pencaharian dan layanan multi sektoral lainnya untuk orang-orang yang selamat dalam kekerasan seksual dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus para penyandang cacat.

Juru bicara untuk utusan AS tidak mau mengomentari rancangan resolusi tersebut. Sementara, negara-negara Eropa yang dipimpin oleh Jerman, Inggris, dan Prancis telah menolak meninggalkan teks terhadap akses kepada keluarga berencana dan klini kesehatan wanita. Mereka percaya hal ini berarti menyerahkan keuntungan dari dekade terakhir dalam pengakuan internasional terhadap hak-hak perempuan.

"Pada intinya ini adalah serangan terhadap kerangka normatif progresif yang didirikan selama 25 tahun terakhir," ujar seorang pejabat Eropa yang tidak mau disebutkan namanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement