REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Naharus Surur
Menurut surah al-Hajj [22] ayat 77, seseorang yang dikatakan mendapat kemenangan ada dua, yakni mereka yang memiliki kesalehan individu seperti melakukan aktivitas shalat (rukuk dan sujud) dan saleh sosial, yakni berbuat kebaikan (amar makruf).
Kita sering lebih asyik dan merasa cukup dengan ibadah mahdhah(ibadah ritual), seperti zikir, shalat, puasa, zakat, dan haji. Dengan ibadah mahdhahitu kita berharap mendapat ketenangan, keda mai an, dan kedekatan dengan Allah SWT. Ibadah mahdhahini harus mengantarkan kita pada dua kesalehan, yakni saleh secara individu dan saleh sosial.
Keyakinan (akidah) kita kepada Allah SWT harusnya tidak hanya mempertebal keimanan kita kepada Allah SWT sa ja (teosentris) yang seolah-olah tak ada hubungannya dengan kehidupan manusia (antrophosentris) di muka bumi ini. Sehingga wajar bila banyak kaum Muslimin yang hanya memprioritaskan iba dah ritual, dan mengabaikan iba dah-ibadah sosial (ibadah ghaira mah dhah/muamalah).
Kita bisa mengambil contoh bagai mana pengamalan ibadah ritual begitu intensif dan semarak di mana-mana, namun saat yang sama perilaku menyimpang dengan syariah dilakukan juga, seperti korupsi, menipu, berbohong, dan mengambil hak orang lain.
Kita bersyukur karena kegiatan ibadah ritual itu semakin meningkat, termasuk pada bulan Ramadhan ini. Kita berharap, kesalehan individu itu bisa berdampak pada kehidupan sehari-hari, terutama dalam aktivitas sosial ( hablumminnas).
Dalam surah al-Ankabut [29]: 45, Allah menegaskan bahwa shalat itu men cegah dari (perbuatan) keji dan mung kar. Secara bahasa, fakhisyah(keji) adalah perbuatan atau kejahatan yang menimbulkan aib besar. Sedang kan menurut istilah, keji ialah suatu per buatan yang melanggar susila (amoral).
Adapun kata mungkar ialah sesuatu yang disyariatkan diingkarinya, karena bertentangan dengan fitrah dan mashlahah. Shalat harus mampu menahan perilaku seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Karena hal itu tidak hanya berdampak kepada dirinya, tapi juga terhadap orang lain.
Orang yang menunaikan zakat juga dimaknai sekadar menggugurkan kewajiban, namun tidak dimaknai sebagai menunaikan kewajiban atau menunai kan kepedulian kepada mustahik yang membutuhkan. Jika seseorang menunaikan dengan niat seperti ini, zakat me miliki ruh sebagai bentuk kepedulian kepada sesama.
Pelaksanaan puasa juga makin kehilangan makna karena sekadar menggugurkan kewajiban. Sekadar menahan lapar dan haus dari fajar hingga Maghrib. Tidak dimaknai sebagai upaya mengasah kepedulian kepada sesama, mengasah simpati dan empati. Sehingga puasa mampu melahirkan pribadi yang saleh secara individu dan sosial.
Haji dan umrah juga dilaksanakan berulang-ulang oleh sebagian kaum Muslimin yang mampu. Walaupun kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, tetap saja banyak yang ingin mengulanginya. Hal ini karena adanya kepuas an spiritual individu, dan bukan per timbangan kemaslahatan secara umum. Dengan memahami surah al-Hajj [22] ayat 77 di atas, sudah seharusnya semua ibadah mahdhah bisa mengantarkan kita pada kesalehan individu dan sosial. ¦