REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu hari, Rasulullah SAW melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul. Beliau bertanya, "Karena apa kalian berkumpul di sini?" Para sahabat menjawab, "Ya Rasulullah, ini ada orang gila sedang mengamuk. Karena itulah kami berkumpul di sini." Rasulullah SAW bersabda, "Orang ini bukan gila. la sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, siapakah orang gila yang benar-benar gila (Al-Majnun Haqq Al-Majnun)?
"Para sahabat menjawab, "Tidak, ya Rasulullah?" Rasulullah SAW menjelaskan, "Orang gila ialah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadanya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman, dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah (mubtala) saja."
Penjelasan Rasulullah SAW tentang orang gila yang benar-benar gila (Al-Majnun Haqq Al-Majnun) di atas tentu membuat para sahabat tersentak, tidak menyangka. Pun dengan kita yang baru mengetahui hadis ini, ataupun yang sudah mengetahui, juga ikut tersentak bila dikaitkan dengan kelakuan banyak orang-orang penting di Indonesia ini.
Saat ini, tampaknya banyak orang yang masuk dalam kategori Al-Majnun Haqq Al-Majnun, terutama dalam kategori: yang kejelekannya membuat orang tidak aman, dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Hal ini dikarenakan semua orang yang mengenalnya sudah tahu jika orang-orang ini, jangankan berbuat jelek, berbuat baik saja tidak menguntungkan orang lain, orang banyak.
Tetapi, hanya menguntungkan dan untuk kepentingan dirinya, keluarganya, dan kroni-kroninya. Orang-orang ini adalah orang-orang tamak dan rakus, yang tidak pernah puas dengan rezeki dan jabatan yang diraihnya.
Jika ditelusuri penyebab mereka menjadi Al-Majnun Haqq Al-Majnun sehingga kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan maka bermuara kepada paradigma yang mereka anut, yaitu paradigma materialistik.
Paradigma materialistik adalah menganggap bahwa segala sesuatu baru ada kalau berwujud secara materi sehingga manusia pun dianggap manusia hanya sebatas tubuh. Dari paradigma materialistik ini, kemudian memunculkan paradigma atau sikap sekularistik, yaitu suatu pandangan hidup yang memahami bahwa kehidupan hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi ini. Paradigma sekularistik kemudian melahirkan paradigma atau sifat hedonistik.
Adapun paradigma spiritualistik adalah memahami sesuatu tidak hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi, namun manusia adalah makhluk spiritual atau manusia ruhaniah. Akan ada kehidupan selain di bumi sekarang ini.
Paradigma materialistik melahirkan paradigma sekularistik dan sikap hidup yang hedonistik. Paradigma spiritualistik harus ditinggalkan karena ukuran kebahagiaan bagi pemilik paradigma materalistik dan paradigma turunannya adalah kenikmatan tubuh atau jasmani yang harus dirasakan sekarang, saat masih hidup di bumi ini.
Sebagian besar mereka mengetahui adanya akhirat, tetapi hal itu tidak menjadi kesadaran yang melekat dalam diri mereka. Mereka terpesona dengan kehidupan di dunia seakan-akan kehidupan hanya kini, di sini, di bumi. Mereka menjadi orang-orang yang lalai (ghaflah) akan akhirat.
Konsekuensinya, kejarlah semua yang diinginkan sekarang juga, di sini juga. Raih dan miliki, dapatkan dan ambil. Kuasai sekarang juga, di sini juga. Mumpung masih di bumi. Tak pelak, orang pun berlomba-lomba mencari kenikmatan jasmaniah dan akhirnya menjadi rakus.
Selain orang-orang tersebut menjadi rakus, sebagian mereka juga menjadi stres: dilanda kecemasan atau kegalauan (anxiety). Mereka merasa kesepian. Melihat keadaan ini, mungkinkah orang akan mencapai kebahagiaan?
Yang terjadi justru sebaliknya, stres meningkat. Itu sebabnya, kebahagiaan tidak dapat kita raih jika diukur hanya sebatas tubuh jasmani. Apabila orang sudah terjebak pada pola hidup hedonisme yang menghalalkan segala macam cara, maka prinsip hidup yang dianutnya adalah tiga H, yaitu halal, haram, hantam.
Sekali lagi, kalau sudah materialistik, otomatis sekularistik. Maksudnya, segala-galanya harus bisa diperoleh sekarang juga, mumpung di bumi. Sehingga, yang disebut kenikmatan adalah kenikmatan jasmani. Baginya tidak ada kehidupan ruhaniah nanti di sana. Sikap yang sekularistik kemudian melahirkan sifat hedonistik, yaitu sifat yang mementingkan kesenangan dan kepuasan duniawi tanpa mempertimbangkan aspek moralitas, sosial, adat istiadat, maupun agama. Yang penting bisa mendapat kesenangan dan kepuasan. Kata-kata baik atau buruk, benar atau salah, tidak lagi menjadi pedoman.
Misalnya, ketika ada jabatan kosong yang lebih tinggi di kantor atau di sebuah lembaga publik, dia ingin sekali mendapatkannya. Akibatnya, bila jabatan tersebut dimiliki orang lain, itu akan membuatnya stres. Bagaimana dia menghalau stresnya? Dia pun melakukan terobosan-terobosan dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan tersebut.
Sikap hidup yang hedonis membuat orang tidak bahagia. Mengapa? Karena pola pikirnya adalah mengejar kenikmatan tubuh sesaat. Inilah orang-orang yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai Al-Majnun Haqq Al-Majnun, orang gila yang sebenar-benarnya, gila terhadap dunia menjadikan orang-orang ini kehilangan keadabannya dan kehilangan nila-nilai kemanusiaan.
Akhir kalam, mari kita hindari diri kita dari memiliki paradigma materialistik ini agar tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang Al-Majnun Haqq Al-Majnun yang sedang merajalela di negeri ini dengan memilih dan memiliki paradigma spiritualistik, yaitu memahami kehidupan manusia tidak hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi, namun manusia adalah makhluk spiritual atau manusia ruhaniah. n ed: hafidz muftisany
Oleh Rakhmad Zailani Kiki Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre