REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) saat ini belum sepenuhnya yakin akan mengurangi volume garam impor untuk industri. Meski saat ini pemerintah telah mencanangkan swasembada garam rakyat.
Direktur Industri Kimia Hulu dari Direktorat Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Fridy Juwono mengatakan, sektor industri belum yakin mengurangi volume garam impor. Alasannya, saat ini kapasitas garam lokal belum dapat memenuhi kebutuhan atas standarisasi industri.
“Kalau sudah bisa memenuhi standar industri, mungkin secara bertahap kita kurangi impornya. Tapi kalau belum, ya agak sulit juga (mengurangi),” kata Fridy saat dihubungi Republika, Jumat (26/7).
Kendati demikian, dia menjelaskan, tak sepenuhnya garam yang digunakan industri berasal dari impor. Dari kurun waktu Agustus 2018 hingga 18 Juli 2019 ini, dia menyebut sektor industri telah menyerap sebanyak 1.016.000 ton garam rakyat yang sesuai dengan kapasitas industri.
Penyerapan itu hingga kini masih berlangsung sesuai dengan komitmen yang telah disepakati antara industri dengan pemerintah dengan harga beli Rp 900 per kilogram (kg).
Berdasarkan catatannya, kebutuhan garam industri sebesar 84 persennya masih dipasok impor. Untuk itu dia menyatakan, akan sulit bagi sektor industri apabila impor garam dihentikan secara menyeluruh. Seperti industri makanan dan minuman (mamin), lanjutnya, standarisasi yang diterapkan industri sangat ketat sebab menyangkut rasa dan selera yang telah melekat di konsumen.
Dia mencontohkan, salah satu industri mamin berskala besar seperti Indofood sulit untuk menggunakan garam lokal. Selain permasalahan kadar NaCl garamnya tidak sesuai, incuritis garamnya juga tidak sama dengan garam impor.
Hal yang menyebabkan adanya disparitas kualitas garam antara lokal dengan impor, menurut dia, adalah masa panen dini yang kerap diterapkan petambak lokal. "Jadi kalau di sini ya, kalau tidak salah, itu baru 7 hari dipanen. Jadi garamnya itu masih halus-halus, tidak mengkristal seperti yang impor,” kata dia.
Hanya saja dia meyakinkan saat ini pemerintah tengah mengarah pada pembenahan kualitas dan kapasitas garam lokal agar dapat diserap industri. Melalui PT garam, lanjut Fridy, sudah dilakukan acuan baku mengenai standar kebutuhan garam industri sabil memperluas panen.
Meski sejauh ini, garam tersebut tidak bisa diserap ke industri mamin. “Karena industri mamin ini sangat mempersyaratkan incuritisnya itu,” kata dia.
Berdasarkan catatannya, upaya PT Garam untuk menyesuaikan produksi garamnya dengan garam industri adalah meningkatnya kadar NaCl yang diproduksi. Saat ini PT Garam sudah mampu memproduksi garam dengan kadar NaCl sekitar 96-97 persen. Hanya saja problem incuritisnya belum sama dengan garam impor.
Fridy menjabarkan, saat ini garam lokal yang dapat dimanfaatkan industri meliputi sektor tekstil, industri pembersih broiler, serta industri makanan pengasinan ikan dan skala rumahan. Sedangkan garam impor yang ada diserap oleh industri-industri berskala besar.
Untuk itu ke depannya dia berharap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mampu menyediakan ketersediaan garam dengan kapasitas yang sesuai dengan industri. Apabila itu tersedia, dia menjamin industri akan menyerap dengan jaminan kualitas yang ada.
Terkait dengan harga pembelian pemerintah (HPP) garam yang belum diatur dalam regulasi, pihaknya belum dapat memberikan angka detail masukan industri terhadap harga. Dia menggarisbawahi, jika HPP telah tersedia maka industri akan siap menyerap dengan harga yang ada namun diimbangi kualitas dari garam rakyat.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah tengah memasukkan garam sebagai bagian dari barang pokok dan barang penting sehingga harga beli di petani dapat ditentukan pemerintah. Sebelumnya diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, garam dikeluarkan sebagai salah satu kriteria tersebut.