REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Bank Sampah Nusantara LPBI-NU Fitri Aryani menyebut, lembaga ini disiapkan untuk tiga isu, yakni penanggulangan bencana, perubahan iklim, dan isu lingkungan.
Dulu, lembaga ini lebih banyak bergerak di bidang penanggulang an bencana. Namun, isu lingkungan tetap berjalan karena, menurutnya, antara ling kungan dan perubahan iklim memiliki hu bungan dan bagian dari mitigasi bencana.
"Tapi, kita mulai fokus ke bank sampah ini dan membangun sendiri serta meng adakan sosialisasi sejak tiga tahun lalu. Kita mulai juga untuk membangun bank sampah di dalam PBNU," ujar Fitri saat dihubungi Republika, belum lama ini.
Pada 2016 LPBI pun berencana membuat bank sampah sendiri di gedung PB NU. Mereka mulai menggalakkan dan menyebarkan informasi pentingnya keberadaan bank sampah. Fokus bank sampah diberikan kepada pesantren, selain ke komunitas lainnya.
Hingga saat ini, ada lebih dari 100 pesantren yang sudah diberikan sosialisasi dan membangun bank sampahnya sendiri. Namun, Fitri mengaku, tidak semuanya berjalan dengan baik. "Menjalankan program ini, berarti membicarakan tentang mengubah cara berpikir dan perilaku. Ini memang tidak gampang,"lanjut dia.
Bukan tanpa alasan LPBI-NU memilih untuk fokus memberikan sosialisasi di lingkungan pesantren. Pesantren dinilai sebagai sebuah komunitas yang cukup kuat di masyarakat. Satu pesantren bisa memiliki ribuan, bahkan puluhan ribu santri. Dengan jumlah yang tidak sedikit, sampah yang dihasilkan oleh pesantren juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Selain itu, LPBI-NU melihat pesantren bisa menjadi agen perubahan atau agent of change. Perubahan yang terjadi tidak ha nya dirasakan di lingkungan pondok baik santri maupun kiai dan ustaznya, tapi juga masyarakat sekitar dan alumninya.
"Selain itu, kita melihat ketawadhuan santri atau ketaatan mereka pada kiainya masih sangat besar. Ketika kita memberi pengetahuan kepada kiainya, lalu kiai memiliki pola pikir yang bagus tentang lingkungan, maka diharap bisa membawa pengaruh bagi santri, alumni, dan keluarga-keluarga santri," ujar Fitri.
Fitri menjelaskan, sampah merupakan permasalahan nyata dan dirasakan oleh sebagian besar pondok pesantren di Indonesia. Dari hasil kajiannya, ditemukan beberapa pesantren yang lokasinya di perkotaan ada yang mengeluarkan biaya angkut sampah mencapai Rp 1 juta setiap bulan. Selain itu, ada beberapa pesantren di desa yang sampai ditolak oleh TPA maupun TPS sekitar karena sudah melebihi kapasitas.
Masalah-masalah seperti ini sudah selayaknya dicarikan solusi. Ketika ada satu pengetahuan yang spesifik dan terbaru tentang sampah utamanya sampah plastik, rata-rata pesantren antusias untuk mendapatkan informasi tersebut. Dalam penyajiannya, LPBI-NU mengemas sosialisasi tentang sampah dan bank sampah dengan kegiatan 'Ngaji Sampah Plastik'.
Di dalamnya diselipkan kajian ayat tentang menjaga lingkungan dan alam. Dengan metode seperti ini, lebih gampang masuk dan dipahami oleh kalangan kiai, santri, maupun masyarakat lainnya dalam pesantren. Ada keterikatan moral maupun spiritual yang ditularkan di pesantren melalui kegiatan Ngaji Sampah ini.
"Di pesantren itu tidak cuma hablum minallah tapi juga hablum minannas. Kesadaran untuk tidak zalim terhadap alam dan men jaga lingkungan, ini contoh hablum minannas." jelas dia.