Kamis 08 Aug 2019 04:30 WIB

OJK: 12 Unit Usaha Syariah Belum Layak untuk Spin Off

20 Unit Usaha Syariah wajib lepas dari induknya memenuhi amanat UU No 21 Tahun 2018

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Perbankan Syariah
Perbankan Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut sebanyak 12 unit usaha syariah belum layak untuk memisahkan diri dari induk konvensional (spin off) pada saat ini. Direkur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah, Deden Firman Hendarsyah menyampaikan kondisi tersebut kemungkinan masih bisa berubah pada tahun 2023.

"Dari 20 UUS yang ada, sekitar 12 belum bisa spin-off jika kondisinya sekarang," kata dia dalam Seminar Sehari Perbankan Syariah Spin Off atau Konversi? Peluang dan Tantangannya di Pullman Hotel, Jakarta, Rabu (7/8).

Baca Juga

Deden mengatakan ada beberapa bank induk konvensional yang tidak bisa memenuhi persyaratan melepas unit usaha syariahnya. Seperti masalah tingkat penyertaan modal, dan tingkat kesehatan.

Selain itu muncul beberapa bank umum syariah dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang berskala aset rendah. Sehingga berpotensi tidak berkelanjutan secara bisnis. Mayoritas bank ini memiliki skala aset sekitar Rp 1-3 triliun.

Jika dilihat dari pertumbuhan aset, UUS non BPD menunjukan pertumbuhan cukup baik sementara UUS BPD cenderung tidak signifikan. Kondisi tersebut merupakan salah satu pertimbangan dalam memutuskan langkah untuk mengambil kebijakan spin-off.

"Memang masalahnya ada di BPD yang Buku I dan Buku II, sehingga perlu dorongan," kata Deden.

Menurut data OJK, terdapat 20 UUS yang wajib lepas dari induknya memenuhi amanat UU No 21 Tahun 2018 tentang Perbankan Syariah. Sebanyak tujuh dalam bentuk UUS dari Bank Umum dan 13 UUS dari BPD.

Direktur Bank Jateng, Hanawijaya menyampaikan bank-bank yang perlu dorongan tersebut memang BPD. Menurutnya, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) masih pada rencana aksi untuk menggabungkan 13 BPD yang ada di Indonesia.

"Jika digabungkan, akan ada banyak keuntungan bagi semua pihak," kata Hana yang juga Project Manager Unifikasi UUS BPD-Seluruh Indonesia.

Jika digabung, maka modal inti BPD Syariah akan menjadi Rp 6,4 triliun dengan aset sekitar Rp 36 triliun. Sebelumnya, Asbanda telah melakukan perhitungan skala ekonomi untuk menentukan kemampuan UUS agar bisa lepas dari induk.

Minimal asetnya harus Rp 10 triliun agar dapat bertahan di pasar dan equity minimal Rp 1,3 triliun. Sementara mayoritas UUS saat ini kondisinya cukup sulit.

Hana mengatakan dengan penggabungan BPD juga sebenarnya akan memudahkan OJK sebagai pengawas. "Jika harus spin off semua, OJK akan memiliki tambahan pekerjaan mengawasi 13 bank baru," katanya.

Untuk melancarkan rencana aksi unifikasi, ia melakukan pendekatan top-down dari regulator. Seperti mencari dukungan dari KNKS dan kini sedang mencoba mencari dukungan dari Kementerian Dalam Negeri.

Menurut Hana, tantangan terbesar unifikasi adalah faktor kepemilikan atau pemegang saham yakni pemerintah daerah. Sulit mengumpulkan 13 Gubernur untuk duduk bersama dan menyepakati ide ini sehingga perlu perintah langsung dari pihak tertinggi.

Struktur BPD dinilai akan lebih memungkinkan jika konversi meski jalan yang ditempuh pun tidak mudah. Mantan Direktur Utama Bank NTB, Komari Subakir menyampaikan proses konversi Bank NTB menjadi syariah memakan waktu hampir dua tahun.

Prosesnya cukup berliku mulai dari RUPSLB pada 31 Oktober 2016 hingga resmi menjadi Bank NTB Syariah pada 13 September 2018. Seperti mulai pembentukan tim proyek managemen konversi, merekrut konsultan untuk analisis, bekerja sama dengan bank umum syariah, mengurus Peraturan Daerah Konversi, kesiapan operasional, hingga akhirnya go-live.

"Tantangannya juga setelah itu, jangan sampai setelah konversi, performa jadi turun sehingga memberi citra buruk pada model bisnis syariah," kata Komari.

Direktur Bank NTB, Kukuh Rahardjo mengatakan membina kepercayaan nasabah menjadi kunci dari keberhasilan setelah konversi. Ia bersyukur pada akhirnya dukungan dari shareholder dan masyarakat menjadikan Bank NTB Syariah lebih diterima.

Rasa kepemilikan terhadap BPD meningkat dicirikan dengan semakin banyak nasabah non ASN. Pengumpulan dana masyarakat tidak mengalami masalah setelah konversi malah cenderung naik.

Posisi 21 September 2018 sebelum konversi, Dana Pihak Ketiga sebesar Rp 6,1 triliun dan DPK UUSnya sebesar Rp 1,2 miliar. Pasca konversi, total DPK sebesar Rp 6,4 triliun.

"Dana-dana ritel ini jadi penggerak, tabungan dari Rp 1,9 triliun menjadi Rp 2,5 triliun," kata dia.

Saat ini Bank NTB Syariah masih dalam masa transisi untuk membuat kesepakatan dengan sekitar 31 ribu nasabah pembiayaan. Kesepakatan ini terkait dengan perubahan akad pembiayaan dan memperjelas status pembiayaan mereka.

Salah satu bank yang juga sedang dalam proses menuju konversi adalah Bank Nagari. Direktur Bank Nagari, BPD Sumatera Barat, Dedy Ihsan mengatakan mereka sedang dalam proses mempersiapkan RUPSLB.

"Pemegang saham nanti akan memutuskan final, condongnya ke konversi," kata dia.

Setelah proses RUPSLB, Bank Nagari akan mempersiapkan tim untuk segala kemungkinan. Untuk konversi, Dedy mengatakan sudah mempersiapkan rancangan termasuk SOP yang akan berujuk pada SOP Bank NTB Syariah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement