REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Meski kerap dibicarakan, sedikit yang bisa mengerti tentang wahyu. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan wahyu? Apakah wahyu identik dengan kitab suci? Apa bedanya dengan il ham yang diberikan kepada para wali?
Kesulitan memahami makna ha kikat wahyu karena belum ditemukan padanannya paling tepat di dalam bahasa Indonesia. Karena itu, kata wahyu terpaksa dijadikan bahasa Indonesia dengan makna sesuatu yang diturunkan dari Allah SWT kepada nabi-Nya melalui malaikat Jibril. Dengan demikian, makna wahyu menjadi identik dengan al-Kitab atau Alquran.
Pada hal, ketiga istilah ini di samping mempunyai persamaan juga perbedaan. Semua ayat-ayat dalam Alquran dan atau al-Kitab (Taurat, Injil, Zabur, dan Alquran) adalah wahyu, tidak semua wahyu adalah Alquran atau al-Kitab). Alquran mengisyaratkan ada wahyu yang tidak ditujukan kepada nabi atau kepada manusia, melainkan kepada selain nabi dan jenis hewan.
Kita bisa terbantu menangkap makna holistik wahyu kalau kita mencari padanannya di dalam bahasa Inggris. Wahyu dalam bahasa Inggris secara literal sering diartikan dengan to reveal (menyingkapkan), to show, expose (menunjukkan), to explosure (memberita hukan), to inform (mengumumkan), to appear (menyatakan), to make known (mengungkapkan), to display (memperlihatkan), to disclosure (memberitahukan), to discover, to open (membuka).
Dengan demikian, wahyu dapat dibayangkan sebagai sesuatu yang tadinya ter sem bunyi menjadi nyata, sesuatu yang tadinya misteri dan tidak di ketahui menjadi diketahui dan di pahami, sesuatu yang tadinya gaib menjadi syahadah atau disaksikan.
Jika demikian pengertian wahyu, maka apa bedanya dengan il ham dan taklim? Bukankah keduanya juga sama, berasal dari Tuhan untuk memberikan penjelasan terhadap sesuatu atau berbagai hal kepada manusia. Bukankah ketigatiganya melalui proses al-inzal dan tanzil (lihat pembahasan ini dalam artikel terdahulu)? Lantas apa per bedaannya secara substansi antara wahyu, ilham, dan taklim?
Wahyu sering dijelaskan secara sederhana sebagai petunjuk Allah SWT ditujukan kepada Nabi-Nya melalui malaikat Jibril dengan mak sud untuk dijadikan petunjuk bagi umat manusia di dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba dan sebagai khalifah.
Wahyu adalah model petunjuk Tuhan paling tinggi yang kualifikasi kebenarannya sering disebut dengan haqq al-yaqin atau kebenarannya 100 persen. Ilham adalah petunjuk Tuhan yang diperuntukkan kepada para wali atau kekasih-Nya. Kualifikasi kebenarannya biasa disebut 'ain alyaqin atau kebenarannya di bawah 100 persen, tetapi di atas 90 persen.
Sedangkan petunjuk lainnya lebih umum biasa disebut dengan taklim, yakni informasi cerdas yang diperoleh melalui usaha seperti belajar. Kualifikasi kebenarannya hanya sampai kepada 'ilm al-yaqin yang ke benarannya sekitar 75 persen. Yang pertama dan yang kedua lebih merupakan petunjuk personal, tidak mutlak harus disampaikan kepada umat lainnya.
Wahyu, ilham, dan taklim bukanlah ciptaan manusia, melainkan given dari Yang Mahaatas melalui proses inzal dan tanzil. Ketiga jenis informasi ini sama-sama berasal dari dunia atas; baik dalam arti lauh al-mahfudz atau dari dalam lingkup al-A'yan al-Tsabitah. Lalu, ketiganya turun ke langit bumi untuk dijadikan petunjuk bagi ma nusia. Wahyu memiliki proses khu sus karena diantar oleh malaikat Jibril, sedangkan keduanya prosesnya langsung kepada manusia atau objek yang dituju.
Untuk memperoleh salah satu dari tiga sumber informasi ini melalui penyingkapan atau lebih dikenal dengan mukasyafah dalam konsep tasawuf, yaitu terbukanya hijab atau tabir yang selama ini menghalangi seseorang untuk mengakses objek yang ada atau yang berasal dari alam atau dunia gaib. Jika hijab sudah terbuka (mukasyafah) maka hilanglah kegaiban itu dan tampaklah sesuatu yang tadinya tidak tampak atau turunlah sesuatu yang tadinya masih di dunia atas. Sebagaimana pernah dijelaskan da lam artikel terdahulu bahwa alam gaib itu bertingkat-tingkat.
Ada alam gaib tidak mutlak dan ada alam gaib yang mutlak, bahkan ada Yang Mahagaib yang tidak bisa lagi disebut alam, tetapi biasa disebut al-A'yan al-Tsabitah atau Entitas Permanen. Sesungguhnya, al-A'yan al-Tsabitah masih bisa dikenali karena di situ ada namanama dan sifat-sifat Allah SWT, namun yang Mahamutlak Kegaibannya ialah Sang Sirr al-Asrar, Sub stansi Allah SWT. Al-A'yan al- Tsabitah biasa disebut level Wa hidiyyah-Nya dan Sirr al-Asrar biasa disebut level Ahadiyyah-Nya.
Kemampuan mengakses dunia atas atau dunia gaib tergantung ener gi spiritual yang dimiliki seseorang. Semakin kuat energi itu maka makin tinggi alam atau dunia gaib bisa di akses. Tentu saja, makin tinggi kemampuan manusia meng akses dunia gaib maka makin tinggi pula tingkat kegaiban yang dapat diperoleh.
Rasulullah SAW sudah pernah mengakses puncak dari se gala pun cak dari segala puncak ketinggian yang disebut dengan Sidrah al-Muntaha. Rasulullah Muhammad SAW satu-satunya makhluk yang bisa mengakses tempat paling jauh dan paling tinggi ini.
Namun, Nabi Muhammad SAW memberi kemungkinan orang lain bisa mengakses alam puncak ini dengan cara shalat, sebagaimana di dalam sabdanya dikatakan: Al-Shalat mi'raj al-mu'minin (shalat adalah milraj bagi orang yang beriman).
Secara potensial, setiap orang bisa mengakses tempat atau maqam atas yang lebih tinggi dan gaib itu. Imam Al-Gazali di dalam kitab Ihya' 'Ulum al-Din pernah menggambarkan bahwa setiap orang memiliki potensi dan kemampuan untuk menjadi Nabi, hanya saja Allah SWT membatasi jumlah nabi nya. Seolah-olah Imam Gazali ingin mengatakan bahwa hardware dan soft ware setiap orang sama. Tidak ada bedanya antara nabi dan bukan nabi dilihat dari sudut pandang biologis.
Allah SWT juga sesungguhnya mengisyaratkan hal itu di dalam akhir surah al-Kahfi, "Kata kanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang di wahyukan kepadaku, 'Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.' Barangsiapa meng harap perjumpaan dengan Tu hannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhan nya." (QS al-Kahfi/18:110).
Prof Dr Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal