Oleh: Dian Widiyanarko, Penulis dan Jurnalis
Suatu hari, pemuka suku Quraisy dari Bani Hasyim, Abdul Muthalib, bernazar: jika diberi 10 anak laki-laki, maka akan menyembelih satu anak sebagai kurban. Dan memang pada masa jahiliyah itu, memiliki anak laki-laki adalah kebanggaan orang Arab. Sebaliknya memiliki anak perempuan itu bagaikan aib, maka banyak bayi perempuan yang dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup.
Tuhan akhirnya mengabulkan permintaan juru kunci Ka’bah ini. Maka dia kemudian mengundi 10 anak laki-lakinya untuk disembelih salah satu di antaranya. Maka jatuhlah undian kepada anaknya yang bernama Abdullah.
Singkat cerita, masyarakat melarang Abdul Muthalib menyembelih Abdullah. Khawatir tradisi ini akan berlanjut dan diikuti orang-orang lain di kemudian hari. Sebagai gantinya untuk pemenuhan nazar, Abdul Muthalib menebus janjinya dengan menyembelih 100 ekor onta.
Maka selamatlah Abdullah dari disembelih ayahnya. Setelah dewasa dan menikah dengan Aminah, Abdullah kemudian memiliki anak yang dinamainya Muhammad. Nama yang tidak umum dan tidak ada sebelumnya yang artinya mahluk yang terpuji.
Dari peristiwa itu, orang arab sering menyebut Muhammad sebagai “anak dua orang sembelihan”. Muhammad sendiri juga pernah berkata bahwa:
“Aku adalah keturunan dari dua orang bapak yang hampir disembelih (ana ibnu adz-dzabiihain)”
Dua bapak yang hampir disembelih ini adalah Abdullah yang hampir disembelih Abdul Muthalib, dan Ismail yang hampir disembelih Ibrahim. Ismail adalah putra pertama Ibrahim dari Hajar. Mereka menetap di padang tandus yang kemudian menjadi ramai setelah anak dan bapak ini membangun Ka’bah.
Ismail kemudian melahirkan bangsa Arab, sementara dari adiknya yang lahir kemudian (dari istri pertama Ibrahim, Sarah): Ishaq, lahirlah bangsa Israel (dari nama anak Ishaq yaitu Yaqub).
Muhammad kemudian menjadi Rasul Allah (utusan Tuhan). Dia kemudian melestarikan tradisi Ibrahim termasuk tradisi kurban dengan binatang ternak yang kemudian dagingnya disedekahkan untuk orang yang tidak mampu. Bahkan ini adalah salah satu hari raya umat Islam: Hari Raya Kurban atau Idul Adha.
Setiap menjelang Idul Adha, selalu ada perdebatan siapa yang dikurbankan? Ismail atau Ishaq. Taurat (yang ada saat ini) menyebut Ishaq. Sedangkan Al Quran memang tidak menyebut secara eksplisit nama anak Ibrahim yang dikurbankan (nyaris disembelih). Al Quran tidak menyebut Ismail maupun Ishaq.
Namun pernyataan Rasulullah bahwa dia keturunan orang yang hampir disembelih, cukup jelas menjelaskan bahwa Ismail yang akan disembelih. Karena Rasulullah ini keturunan Ismail bukan Ishaq.
Selain itu, secara kronologis jelas peristiwa itu terjadi sebelum peristiwa Allah menjanjikan anak kedua pada Ibrahim (dari Sarah, yaitu Ishaq), artinya itu anak pertama dan itu adalah Ismail.
Ini juga selaras dengan kisah bahwa Ibrahim lama tidak memiliki anak dengan Sarah. Sampai akhirnya diizinkan menikah dengan Hajar dan memiliki anak Ismail. Begitu sayangnya dengan anak yang lama didambakannya, Ibrahim kemudian diuji oleh Allah untuk mengorbankan anak satu-satunya dan lama dinantikan itu. Tentu lebih berat mengorbankan anak satu-satunya yang lama dinanti kehadirannya, dibanding jika sudah memiliki dua anak.
Perintah Allah agar Nabi Ibrahim AS mengorbankan anaknya adalah simbol mengorbankan apa yang paling dicintai untuk Tuhan. Nabi Ibrahim AS pun melakukannya, Nabi Muhammad SAW melanjutkannya, mengabadikannya dalam syariatnya. Sebuah ibadah yang berdimensi vertikal (ketaatan pada Allah) dan horizontal (sedekah dagingnya).
Saking pentingnya kurban ini, Rasulullah pun memperingatkan dengan keras umatnya yang mampu namun tidak melakukannya:
“Barang siapa yang berkelapangan harta namun tidak mau berqurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat sholat kami!"