REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, menjelaskan, pemerintah perlu memperluas implementasi bebas pajak bagi pengetahuan (No Tax for Knowledge). Di antaranya dengan menambah jenis buku-buku yang mendapat fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pada dasarnya, Darussalam menuturkan, kebijakan keringanan pajak untuk buku tidak berbicara mengenai belanja pemerintah maupun pendapatan industri. Kebijakan tersebut lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan tingkat literasi dan juga penyebaran pengetahuan. "Tujuan akhirnya adalah kualitas SDM (Sumber Daya Manusia)," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/8).
Dengan dampak yang besar, Darussalam mengatakan, tidak mengherankan apabila kebijakan serupa sudah banyak dilakukan di berbagai negara. Misalnya, Thailand yang baru-baru ini memberlakukannya. Sementara itu, fasilitas yang sama tengah menjadi perdebatan di Latvia.
Darussalam menilai, untuk kasus Indonesia, pembebasan PPN sebenarnya sudah berlaku untuk beberapa buku, yakni buku pelajaran umum, pelajaran agama, dan kitab suci. "Penting juga diketahui bahwa buku-buku yang dikategorikan pelajaran umum juga memiliki cakupan yang luas," tuturnya.
Apabila memang target pemerintah saat ini adalah untuk meningkatkan kualitas SDM, Darussalam menjelaskan, mungkin ada baiknya mempertimbangkan perluasan buku-buku yang dibebaskan PPN. Dengan begitu, proses pencetakan buku yang berkualitas dapat dilakukan secara lebih masif.
Perluasan tersebut dinilai Darussalam lebih relevan dibanding dengan memberikan keringanan pembelian kertas kepada industri. Sebab, pengawasan peruntukan pembelian kertas sulit dilakukan. "Bisa saja digunakan untuk keperluan percetakan non buku atau di-resale, serta sudah semakin maraknya e-book," katanya.