REPUBLIKA.CO.ID, Semua pemeluk agama di Indonesia pasti memiliki kecintaan terhadap agamanya masing-masing. Namun, jika hal itu tidak dikelola dengan baik maka akan dapat memicu konflik kegamaan.
Salah satunya adalah kesalahan dalam menerima dan memahami konten-konten relegius hate speech (RHS). Karena, ketika RHS dianggap sebagai bagian dari perintah agama, maka hal itu dapat menjadi titik awal yang dapat mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Prof Nasaruddin Umar, dalam bukunya Jihad Melawan RHS Alquran sebagai pedoman umat Islam telah menyampaikan pelajaran yang sangat berharga tentang bahaya menyebarkan kebencian, yaitu kisah Raja Firaun yang hancur akibat selalu melancarkan ujaran kebencian kepada Nabi Musa AS.
Selain itu, Alquran juga selalu mengingatkan kepada orang-orang yang beriman agar tidak mudah membenci orang lain. Hal ini tertuang dalam surat al-Maidah ayat 8 yang berbunyi: "Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil."
Di era digital sekarang, kebencian kerap diungkapkan di media sosial, termasuk religous hate speech (RHS). Prof Nasaruddin mengatakan, penyebaran RHS sekarang semakin mudah dan semakin cepat melalui berbagai media informasi. “Media penyebaran RHS paling populer sekarang ialah media sosial,” tulis dia.
Setidaknya ada delapan modus operandi RHS yang diungkapkan Prof. Nasaruddin dalam buku ini. Kedelapan modus tersebut adalah fitnah, menyebarkan berita bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan memprovokasi, dan menghasut.
Menurut Prof Nasaruddin, konflik keagamaan yang terjadi dalam dasawarsa terkahir ini, baik antar umat beragama atau internal umat beragama, lebih banyak berawal dari kasus fitnah secara pribadi, untuk membela orang atau kelompok tertentu, lalu meluas menjadi konflik keagamaan terbuka.
Fitnah sebagai salah satu modus RHS dinilai sangat berbahaya karena berpotensi membakar emosi keagamaan umat dengan begitu cepat dan sulit dikendalikan. Dalam menjelaskan soal fitnah, Prof Nasaruddin pun memberikan contoh dua kasus fitnah yang diabadikan dalam Alquran.
Pertama, yaitu fitnah para pembesar Mesir yang menjebak Nabi yusuf berduaan dengan dengan seorang perempuan keluarga kerajaan. Kedua, fitnah yang dilontarkan Abdullah bin Ubai bin Abi Salul terhadap Siti Aisyah bersama dengan seorang prajurit.