Selasa 27 Aug 2019 13:04 WIB

Sertifikat Amil Mudahkan untuk Ajukan Kelola Lembaga Zakat

Organisasi pengelola zakat harus diperkuat dengan sumber daya manusia.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Agus Yulianto
Seminar bertajuk ‘Menatap Masa Depan Gerakan Zakat Indonesia dalam Perspektif Amil’ yang digelar di Gedung Pusat Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (26/8).
Foto: Foto: Rahma Sulistya/Republika
Seminar bertajuk ‘Menatap Masa Depan Gerakan Zakat Indonesia dalam Perspektif Amil’ yang digelar di Gedung Pusat Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (26/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para amil yang sudah memiliki sertifikat amil, ke depannya tidak perlu lagi ragu akan fungsi sertifikat amil yang dimilikinya. Sebab, para amil yang sudah tersertifikasi, akan lebih mudah untuk mengajukan diri mengelola lembaga zakat, atau mengelola keuangan zakatnya.

Ketua Umum Lembaga Sertifikasi Profesi Keuangan Syariah (LSP-KS) Ani Murdiati menjelaskan, sertifikat amil ini terbagi menjadi dua yakni dasar dan ahli. Sertifikat amil dasar dan sertifikat amil ahli ini, akan disematkan pada amil yang telah berhasil menjalankan proses penyeleksian sesuai syarat ketentuan yang berlaku.

“Kalau seseorang sudah punya sertifikat amil dasar, mau kerja di Lazis manapun akan diterima. Karena mereka sudah punya standar kerja yang sama,” kata Ani dalam seminar bertajuk ‘Menatap Masa Depan Gerakan Zakat Indonesia dalam Perspektif Amil’ yang digelar di Gedung Pusat Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (26/8).

Kemudian jika antar Lazis melakukan kerja sama, para amil sudah mempunyai standar yang sama. LSP-KS sendiri tentu sudah sering melakukan sertifikasi ke beberapa profesi di bidang syariah, misalnya saja para pegawai yang bekerja di perbankan syariah.

Di perbankan syariah, ada sertifikat manajemen resiko dari level 1 sampai 5 dan hukum sertifikasi bagi para pegawai perbankan syariah ini, wajib. Dan aturan wajib ini sendiri pun turun langsung dari Otoritas Jasa Kuangan (OJK).

“Bahwa sesuai dengan organisasi yang ada di perbankan, seorang operator itu harus punya standar yakni memiliki pengetahuan dasar tentang manajemen resiko yang ada pada level 1. Artinya dia tahu rambu mana yang boleh dilewati mana yang tidak,” papar Ani.

Sementara untuk sekelas direksi komisaris, mereka sudah wajib mempunyai sertifikat yang sudah mencapai level 5. Mereka dituntut harus mampu dan paham tentang manajemen resiko bisnis apa yang boleh dan tidak, operasional mana yang harus dibatasi dan mana yang boleh dilepas, serta limit-limitnya.

Di dalam bisnis atau bidang zakat, dengan adanya standar sertifikat tersebut bisa menjadi dasar untuk para amil. Ini artinya sertifikat bukan hanya sekedar dimiliki lalu tidak berguna, tapi itu menjadi satu standar level untuk seseorang agar bisa dikatakan ahli sesuai kemampuannya atau tidak.

“Sertifikat memang bukan segala-galanya, mereka (para amil) juga harus punya kemampuan lainnya. Misalnya dalam melakukan promosi, interaksi, dan lainnya,” ungkap Ani.

Dia mengajak seluruh lembaga zakat beserta para amil untuk selalu mengedepankan optimis. Karena, para amil merupakan manusia-manusia mulia, yang berjuang di dunia untuk kemuliaan di akhirat. Sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan oleh para amil.

“Amil itu memaksa orang untuk memenuhi kewajibannya secara rukun Islam loh. Masa untuk memenuhi kewajiban demi kemuliaan, demi mensucikan dan membersihkan dirinya, insya Allah surga yang akan diterima. Kalau sudah bersertifikat apa sih maknanya? Seseorang yang sudah memiliki sertifikat, dia sudah mampu memiliki standar kerja,” tutur Ani lagi.

Bagi para amil yang datang dalam seminar dan telah mendapatkan sertifikat amil khusus, dikatakan dia, itu akan berlaku sama dengan sertifikat amil nasional jika ke depannya telah disahkan.

Untuk diketahui, pada 7 Agustus 2019 lalu kepengurusan Forum Zakat (FOZ), bahkan juga bagi gerakan zakat Indonesia, mendapatkan pencerahan baru. Karena telah berbulan-bulan para amil melihat dan merasakan ada keganjilan dalam urusan sertifikasi amil zakat, yakni adanya dualisme proses sertifikasi untuk amil sebagai sebuah profesi di negeri ini.

Dalam beberapa hari tersebut, atas inisiatif Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, yang didukung oleh Kementerian Koordinator (Kemenko) PMK, akhirnya titik terang bagi penyatuan proses ini menemukan muaranya.

Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.

Maka untuk mewujudkan hal tersebut, organisasi pengelola zakat harus diperkuat dengan Sumber Daya Manusia (SDM), yang memiliki kualitas dan kompetensi yang andal pada jabatannya. Untuk itu sangat perlu ditetapkan standar yang merupakan pernyataan keterampilan, pengetahuan dan sikap kerja yang diterapkan dalam rangka pemenuhan persyaratan standar industri.

Terkait impian mencapai tujuan itulah, para amil Indonesia sangat berharap ada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), yang menjembatani kenyataan adanya dualisme SKK khusus yang dimiliki Baznas dan FOZ (LSP KS). SKKNI ini diharapkan mampu meleburkan SKK Khusus yang telah dikelola LSP Baznas dan juga SKK Khusus yang dikoordinasikan oleh Forum Zakat (FOZ/LSP KS).

Harapannya, jika telah ada SKKNI, maka akan lebih memudahkan pengelolaan sertifikasi amil oleh sejumlah pihak atau Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang ada.

Dengan adanya SKKNI juga ini akan menjadikan sebuah pedoman yang baku dan betsifat nasional, yang nantinya dapat diaplikasikan dalam rangka memenuhi kebutuhan meningkatkan kualitas kerja amil zakat seluruh Indonesia. Tentu saja hal ini juga akan semakin memudahkan profesi amil zakat ini bisa setara dengan profesi lainnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement