Selasa 27 Aug 2019 13:38 WIB

Menkeu: Utang untuk Mendanai Program Pendukung Pembangunan

Tingkat rasio utang Pemerintah Indonesia juga jauh lebih kecil dibanding negara lain.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Utang luar negeri tahun ke tahun
Foto: republika
Utang luar negeri tahun ke tahun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memastikan, pendanaan pembangunan yang bersumber dari utang pemerintah hanya menjadi pendukung untuk mendukung berbagai program pembangunan. Sebab, dari rencana belanja negara 2020 sebesar Rp 2.528 triliun, sekitar 87,9 persen akan didanai mandiri dari sumber pendapatan negara.

Langkah tersebut juga konsisten dilakukan setiap tahun untuk menjaga kemandirian pembangunan. Melalui kebijakan pengelolaan utang yang terjaga tersebut, Sri menyebutkan, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam beberapa tahun terakhir tetap dapat dijaga di bawah 30 persen dari PDB.

Baca Juga

"Angka tersebut juga masih jauh dari batas yang diperkenankan dalam Undang-undang Keuangan Negara sebesar 60 persen dari PDB," ujar Sri di hadapan Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/8).

Selain itu, Sri menambahkan, apabila dibandingkan dengan banyak negara lain di dunia, maka tingkat rasio utang Pemerintah Indonesia juga jauh lebih kecil. Tapi, ia memastikan pemerintah selalu menjaga kehatian-hatian dalam pengelolaan utang untuk melaksanakan program pembangunan.

Dalam pengelolaan utang, Sri menyebutkan, pemerintah mengarahkan pemanfaatannya untuk kegiatan yang produktif dan prioritas. Misalnya, aktivitas yang dapat menurunkan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain juga meningkatkan efisiensi biaya utang, mengelola pinjaman luar negeri secara selektif, serta mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam pasar obligasi domestik (financial deepening).

Sri mengatakan, untuk dipahami juga, perencanaan dan penetapan pembiayaan utang setiap tahun di APBN juga melalui pembahasan di DPR sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Pelaksanaan dan pertanggungjawaban dari pembiayaan utang juga dilakukan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan standar yang berlaku secara internasional serta diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," katanya.

Sri mengakui, pembiayaan utang untuk mengatasi defisit APBN dan investasi pemerintah memiliki konsekuensi di masa mendatang berupa cicilan pokok serta bunga. Keduanya mengalami fluktuasi setiap tahun karena menyesuaikan dengan jadwal waktu pembayaran masing-masing instrumen utang dan realisasi variabel ekonomi makro yang mempengaruhinya. Seperti, nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain dan tingkat suku bunga referensi.

Untuk menjaga fluktuasi tersebut, pemerintah juga telah memanfaatkan sumber pembiayaan murah yang tersedia. Misalnya, pinjaman luar negeri dalam kerangka kera sama bilateral dan multilateral.

Dari sisi tenor, pengadaan utang dilakukan melalui kombinasi utang jangka pendek dan jangka panjang sesuai dengan kapasitas serta daya serap pasar. "Sehingga, pembayaran bunga masa mendatang berada dalam level yang manageable," tutur Sri.

Dalam catatan Kemenkeu, tercatat bahwa jumlah utang pemerintah hingga Juli 2019 adalah Rp 4.603 triliun atau 29,51 persen dari PDB Indonesia yang mencapai Rp 15.599 triliun. Jumlah tersebut meningkat Rp 33,45 triliun dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan ini seiring dengan kenaikan pembiayaan dari surat utang atau obligasi dari dalam negeri.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan, penerbitan surat utang yang banyak sengaja dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan gejolak ekonomi global maupun domestik. Dinamika ini diantisipasi melalui penerbitan surat utang di awal tahun atau front loading.

"Kita manfaatkan situasi pasar keuangan di semester pertama yang masih kondusif," ucapnya dalam konferensi pers kinerja APBN 2019 di kantornya, Senin (26/8).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement