Ahad 15 Sep 2019 17:02 WIB

Kenaikan Cukai Rokok Berpotensi Picu Inflasi dan Kemiskinan

Rokok menjadi salah satu kelompok pengeluaran masyarakat miskin yang besar.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendi Manilet menilai, besaran cukai rokok yang mengalami kenaikan drastis memang akan berdampak terhadap kemiskinan. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rokok kretek-filter menjadi kontributor terbesar kedua setelah beras terhadap garis kemiskinan. Kontribusinya di rumah tangga miskin pedesaan adalah 11,36 persen, sementara 12,2 persen di perkotaan.

Yusuf menambahkan, rokok juga menjadi salah satu kelompok pengeluaran masyarakat miskin yang besar. Oleh karena itu, kenaikan cukai yang akhirnya dibebankan kepada konsumen dengan menaikkan harga rokok ini turut memberikan pengaruh terhadap daya beli.

Baca Juga

"Utamanya, masyarakat miskin," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (15/9).

Di sisi lain, Yusuf menegaskan, kenaikan cukai rokok tidak selamanya berdampak negatif. Apabila dilihat secara fungsi, cukai bertujuan mengompensasi dampak eksternalitas negatif suatu barang. Berbagai studi menunjukkan, dampak negatif dari merokok di sisi lain tingkat perokok di usia muda 10-18 tahun terus meningkat dari tahun 2013 sampai dengan 2018.

Artinya, kebijakan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok diharapkan dapat membantu mengantisipasi dampak negatif tersebut. Meskipun, Yusuf menilai, pemerintah tetap harus melakukan kajian apakah kebijakan ini akan berdampak signifikan terhadap penurunan permintaan rokok atau tidak.

Tapi, Yusuf menambahkan, isu kesehatan bukanlah alasan kenaikan cukai rokok pada tahun depan. Ia menyebutkan, kebijakan pemerintah ini tidak terlepas dari naiknya target penerimaan negara tahun depan.

Pada postur sementara Rancangan APBN 2020, pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp 2.333 triliun atau naik sekitar tiga persen dari target APBN 2019, Rp 2.165 triliun. "Jadi ini berpengaruh pada pos penerimaan negara termasuk cukai yang menyumbang delapan persen dari total penerimaan negara," tutur Yusuf.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan kenaikan cukai rokok 23 persen dan harga jual eceran dengan rata-rata sekitar 35 persen. Kebijakan ini berlaku pada 1 Januari 2020 dan akan dituangkan dalam regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Sementara itu, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menuturkan, kebijakan tarif cukai rokok dan harga jual eceran harus disusun secara hati-hati. Sebab, rokok menjadi salah satu kontributor inflasi. Mengutip data BPS, pada Agustus 2019, kenaikan komoditas rokok kretek dan kretek filter menyumbang inflasi 0,01 persen terhadap inflasi.

Meski demikian, Bawono menekankan, kebijakan untuk menaikkan tarif cukai dan harga eceran rokok harus dilihat dari sudut pandang yang lebih komprehensif. "Kebijakan ini utamanya adalah dalam rangka pengendalian konsumsi," katanya.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti mengatakan, kebijakan tarif cukai dan harga banderol ini sudah mempertimbangkan beberapa hal. Di antaranya, jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya), asal bahan baku (lokal dan impor).

Secara prinsip, Nufransa mengatakan, besaran kenaikan tarif dan harga banderol dikenakan secara berjenjang. "Tarif dan harga banderol sigaret kretek tangan lebih rendah dibanding dengan sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement