REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi, neraca dagang Indonesia sampai akhir tahun tetap akan mengalami defisit. Nilainya secara total berada di rentang 4 miliar dolar AS hingga 5 miliar dolar AS. Meski lebih baik dibanding dengan tahun lalu yang defisit 8,5 miliar dolar AS, nilai tersebut tetap besar.
Bhima menyebutkan, defisit sampai akhir tahun tersebut disebabkan neraca dagang migas yang masih menunjukkan tren defisit. Terakhir, pada Agustus, besaran defisitnya adalah 755 juta dolar AS. Secara akumulasi (periode Januari sampai Agustus 2019), nilainya sudah menyentuh 5,6 miliar dolar AS.
"Ini patut diwaspadai," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (16/9).
Bhima menuturkan, pemerintah perlu mencermati ke depannya dampak dari penurunan produksi minyak dalam negeri. Di sisi lain, terjadi tekanan eksternal karena penurunan produksi di Arab Saudi dapat memperlebar defisit migas pada semester kedua.
Selain defisit migas, Bhima menambahkan, penurunan impor yang tajam pada bulan Agustus juga harus dicermati. Sebab, penurunan tersebut terjadi pada bahan baku dan barang modal yang masing-masing kontraksi 8,17 persen dan 10,93 persen dibanding dengan Juli 2019.
"Ini sinyal yang kurang baik," katanya.
Sinyal tersebut karena bahan baku impor sebagian digunakan untuk diolah di dalam negeri yang kemudian diekspor. Artinya, penurunan impor pada golongan penggunaan barang ini menandakan bahwa kinerja industri domestik tidak maksimal.
Di tengah tantangan, Bhima melihat ada secercah harapan dari peluang ekspor ke Amerika Serikat (AS). Pada Agustus, nilai ekspor ke Negeri Paman Sam mengalami pertumbuhan 0,48 persen atau naik 7,6 juta dolar AS dibanding dengan Juli. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor ke AS pada Juli adalah 1,58 miliar dolar AS yang naik menjadi 1,59 miliar dolar AS pada Agustus.
Meski kecil, Bhima menjelaskan, pertumbuhan itu menjadi catatan kinerja positif. Ke depannya, pemerintah dapat terus penetrasi ke pasar AS di tengah perang dagang yang sangat berpotensi bagi pelaku ekspor Indonesia. "Kuncinya di market intelligences, fasilitasi dagang dan menurunkan hambatan ekspor non tarif," ucapnya.
BPS mencatat, neraca dagang pada Agustus 2019 mengalami surplus 85,1 juta dolar AS. Kepala BPS Suhariyanto menilai kondisi ini menjadi sinyal positif pada perekonomian Indonesia dan menjadi langkah awal yang bagus untuk memperbaiki neraca dagang pada bulan-bulan mendatang.
Tapi, Indonesia tetap harus memperhatikan kinerja ekspor dan impor ke depannya. Sebab, secara total, neraca dagang periode Januari sampai Agustus 2019 masih menghadapi defisit 1,81 miliar dolar AS. "Ini upaya tidak mudah mengingat ekonomi global menghadapi perlambatan," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (16/9).