Rabu 25 Sep 2019 08:44 WIB

Sentimen Global Gerus Penerimaan Pajak Indonesia

Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak hanya tumbuh 0,21 persen

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Selasa (24/9). Melalui rapat ini, Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020 resmi disahkan.
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Selasa (24/9). Melalui rapat ini, Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020 resmi disahkan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realisasi penerimaan pajak sampai Agustus 2019 sudah mencapai Rp 801,16 triliun atau hanya tumbuh 0,21 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Nilai ini sangat menurun dibanding dengan pertumbuhan pajak Januari-Agustus 2018 yang dapat melesat hingga 16,52 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, penerimaan perpajakan dalam delapan bulan terakhir memgalami pertumbuhan yang landai. Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi global yang melambat sehingga berdampak pada kinerja korporasi dalam negeri. Dampak berikutnya, besaran setoran perpajakan mereka ke kas negara pun berkurang.

Baca Juga

Sri mengatakan, tekanan perpajakan dalam periode Januari sampai Agustus ini terjadi pada seluruh jenis pajak. Paling jelas terlihat adalah Pajak Penghasilan (PPh) badan yang hanya tumbuh 0,6 persen atau sebesar Rp 155,62 triliun. "Nilai ini berbeda jauh dibandingkan tahun lalu yang mencapai 23,3 persen," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).

Perlambatan signifikan pada PPh badan tidak terlepas dari kontraksi pada sektor utama. Sebut saja industri pengolahan yang berkontribusi 28,9 persen terhadap penerimaan pajak. Pertumbuhannya dalam kurun waktu delapan bulan terakhir ini adalah minus 4,8 persen. Sedangkan, pada tahun lalu dapat mencapai 13,4 persen.

Bea masuk dan bea keluar dari industri pengolahan juga menghadapi pertumbuhan negatif, yakni -5,30 persen dan -32 persen. Kondisi bea keluar membaik dibandingkan tahun lalu (-75 persen), namun bea masuk memburuk dari periode yang sama pada tahun lalu (9 persen).

Sri mengatakan, kondisi tersebut menggambarkan penurunan kinerja industri manufaktur melalui impor bahan baku dan barang modal yang menurun. "Ini menentukan adanya pelemahan," ucapnya.

Selain manufaktur, sektor perdagangan juga menghadapi tekanan. Pada periode Januari hingga Agustus 2019, pertumbuhannya hanya 1,5 persen, kontras dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, 26,7 persen. Padahal, kontribusi sektor ini mencapai 20,8 persen atau menjadi kontributor terbesar kedua terhadap penerimaan negara.

Apabila dilihat dari bea masuk, pertumbuhan di sektor perdagangan mengalami kontraksi hingga minus 8 persen. Angka ini kontras dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, 24 persen. Meski bea keluarnya tumbuh positif, Sri mengatakan, kontraksi pada bea masuk menunjukkan bahwa sektor perdagangan tidak bebas dari dampak pelemahan ekonomi global.

Sektor yang juga menghadapi tekanan adalah pertambangan. Selama periode Januari sampai Agustus, total penerimaan perpajakan dari sektor ini adalah Rp 40,21 triliun. Besaran ini kontraksi 16,3 persen, jauh menurun dibanding dengan pencapaian periode yang sama pada tahun lalu, 71,6 persen.

Artinya, Sri menjelaskan, pertambangan mengalami tekanan sangat dalam sehingga penerimaan perpajakanya juga menghadapi tekanan. Konfirmasinya terutama terlihat dari bea keluar yang tumbuh -75 persen. "Sedangkan tahun lalu sampai 200 persen," tuturnya.

Dengan kondisi ini, Kemenkeu tetap memproyeksikan shortfall sebesar Rp 140 triliun. Artinya, Sri masih berharap penerimaan pajak mampu mencapai Rp 1.437,53 triliun atau 91,22 persen dari targetnya, Rp 1.577,55 triliun.

Untuk menekan dampak buruk lebih dalam, Sri memastikan pemerintah akan terus melakukan reformasi perpajakan. Khususnya dengan meningkatkan  kepatuhan pelayanan,  Automatic Exchange of Information (AEoI), dan menaikkan ekstensifikasi pajak lainnya. Kebijakan ini terus dilakukan tanpa mengesampingkan masalah ekonomi dunia usaha yang tengah menghadapi tekanan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement