REPUBLIKA.CO.ID, Pada 638 Masehi atau disebut Tahun Ashes, semenanjung Arab dilanda kekeringan ekstrem. Tepatnya enam tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, kota suci Makkah dan Madinah tertimpa bahaya mengerikan.
Para warga sekaligus pengungsi dari pedesaan mengalami kelaparan. Mereka kemudian berkeliaran demi mendapatkan bantuan.
Melihat kondisi tersebut, di Madinah, Khalifah Umar bin Khattab langsung menulis surat untuk jenderalnya di Mesir Amr Ibn al-‘Ash. Dia mendesak sang jenderal mengirimkan makanan supaya warga yang kelaparan di Hijaz bisa dibantu.
Saat menerima perintah itu, Amr belum sepenuhnya menaklukkan Mesir. Meski begitu dia tetap mengirimkan kafilah unta besar yang membawa makanan, kemungkinan besar makanan tersebut berupa gandum.
Kafilah berjalan dari Lembah Nil melintasi Semenjanjung Sinai, lalu ke selatan melalui pegunungan Hijaz ke Madinah. Perjalanan ini menempuh jarak sekitar 1.300 kilometer atau 800 mil, sehingga membutuhkan waktu bulan untuk sampai di Madinah.
Sesampainya di sana, pemimpin kafilah membawa tanggapan dari Amr ke khalifah. “Aku sudah mengirimu unta. Yang pertama bersamamu di Madinah, yang terakhir meninggalkanku di Mesir,” tulis Amr.
Sejarawan Mesir abad kesembilan Ibnu Abd al-Hakam mengatakan, di sela-sela itu, kumpulan hewan yang tak terputus membawa hadiah dari Nil ke Hijaz. Kemudian ketika mereka sampai di Madinah, Umar memberikan satu unta beserta muatannya ke setiap rumah tangga.
Selanjutnya, kafilah lain yang membawa makanan datang dari daratan ke utara. Dengan begitu, musibah kelaparan bisa dihindari.
Dari peristiwa itu, Umar mengambil dua pelajaran, pertama, kerentanan tanah suci dan kedua, pentingnya karunia Mesir. Akhirnya, dia kembali mengirim surat Amr mengenai sebuah rencana. “Saya ingin menggali sebuah kanal dari sungai Nil Mesir, sehingga perairannya akan mengalir ke laut. Jadi akan lebih mudah mengangkut makanan ke Makkah dan Madinah. Berkonsultasilah di antara kalian sendiri demi menyelesaikan masalah ini,” kata Ibnu Abd al-Hakam mengutip perkataan Umar.
Gagasan Umar tersebut tak luar biasa seperti terdengar pertama kali. Pasalnya didasarkan pada ingatan bahwa kanal semacam itu sebenarnya ada ketika Mesir berada di bawah kekuasaan Romawi, dan kapal-kapal yang membawa gandum dari Mesir pernah berlayar ke Hijaz di masa lalu. Hanya saja, pada saat penaklukkan Islam di Mesir, kanal sudah tidak digunakan sekaligus diblokir dengan pasir serta puing-puing.
“Teman-teman Amr terganggu oleh rencana Umar. Para pemimpin Koptik asli Mesir juga sangat tidak senang, sebab mereka ragu proyek itu akan bermanfaat secara komersial bagi mereka seperti halnya bagi Arab,” ujar Ibn Abd al-Hakam.
Mereka kemudian mendesak Amr untuk memberi pesan pada Umar kalau proyek itu tidak akan terjadi, namun niat Umar tak bisa dihalangi. “Saya akan membuatnya sebagai perintah agar tidak ada kapal yang berlayar di laut (Merah), kecuali membawa makanan untuk masyarakat Makkah dan Madinah,” tegas Umar.
Menyadari Umar yang bersungguh-sungguh, Amr langsung mengatur tugas untuk memulihkan kanal Nil-Laut Merah. Menurut Ibn Abd al-Hakam, ada seorang Koptik yang menunjukkan Amr rute kanal Romawi kuno, sebagai imbalannya, si penunjuk jalan meminta dibebaskan dari pungutan pajak.
Sebagian besar kanal yang dinamai ‘Commander of the Faithful’ untuk menghormati khalifah tersebut, mengikuti rute yang dipotong kanal Romawi. Maka, koneksi baru ke Sungai Nil harus ditemukan, agar dapat menghindari tanah yang sudah diperuntukkan bagi pembangunan Fustat, yaitu ibu kota Islam baru di Mesir, sebelum Kairo.
Mulut kanal baru akhirnya ditemukan, yakni terletak di jantung kota Kairo, tepatnya dekat Sayyida Zaynab Square. Dari mulutnya di Sungai Nil sampai ujungnya di pelabuhan Laut Merah Al Qulzum (Suez modern), kanal itu menjorok sejauh 170 kilometer atau 105 mil.
Sejarawan Mamluk abad k-14 Ibn Duqmaq menjelaskan, berikutnya Amr berupaya membawa kapal-kapal bergerak ke Hijaz seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Kapal-kapal itu sampai di Hijaz pada bulan ketujuh atau setelah penggalian dimulai.
Dirinya menambahkan, kanal yang digali membawa keuntungan dari beberapa fitur lanskap Mesir. Bagian pertama mengikuti pinggiran timur Delta Sungai Nil yang berbentuk dataran rendah sekitar 80 kilometer atau 50 mil, lalu berbelok ke timur sekitar 65 kilometer atau 40 mil di sepanjang Wadi Tumaylat.
Wadi Tumaylat merupakan lembah timur-barat kering yang telah dipotong melalui ekstensi utara Bukit Muqattam oleh cabang kuno Sungai Nil yang pernah dikosongkan ke Laut Merah.
Berikutnya, kaki terakhir ke selatan menuju laut di Al Qulzum mengikuti Isthmus of Suez, yakni sebuah depresi tektonik yang menjadi awal Kanal Suez modern berjalan saat ini.