Sabtu 28 Sep 2019 18:30 WIB

Etika Berpendapat

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita jadikan contoh dalam menyampaikan pendapat.

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muqorobin

Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik, suatu ketika Rasulullah SAW berjalan-jalan bersama para sahabat berkeliling Madinah. Di tengah perjalanan, Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma. Seketika melihat hal itu, Rasulullah SAW memberikan tanggapan kepada para penduduk tersebut.

Saat memberikan tanggapan, Rasulullah SAW tidak menggunakan kata-kata yang menyebutkan kepastian. Rasulullah SAW menyampaikan: Sekiranya mereka tidak melakukan hal itu, pohon kurma itu juga akan tumbuh baik. Karena yang mengatakan hal itu adalah seorang Nabi, masyarakat Madinah pun menaatinya dan akhirnya meninggalkan kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun.

Selang beberapa waktu berlalu, ternyata pohon kurma yang biasanya tumbuh bagus tak sesuai dengan ekspektasi dan kebiasaan. Hingga akhirnya Rasulullah SAW pun mengetahui bahwa usulannya kepada masyarakat Madinah tersebut malah membuat pohon kurma rusak dan tak tumbuh seperti biasanya.

Dengan segala kerendahan hati, Rasulullah SAW pun berkata kepada para kaum di Madinah tersebut. Antum a'lamu bi amri dunyakum (kalian lebih mengetahui urusan tersebut). (HR Muslim). Dari kisah interaksi antara Rasulullah SAW dan kaum Madinah tersebut, setidaknya ada beberapa pelajaran yang dapat kita jadikan contoh dalam menyampaikan pendapat secara etik.

Pertama, memberikan pendapat dalam bentuk kritik, saran, dan tanggapan merupakan hak setiap orang. Dalam berpendapat seharusnya disampaikan dengan cara-cara yang santun, baik, dan tepat. Sehebat dan sebaik apa pun pendapat yang akan disampaikan, kalau cara penyampaiannya tidak baik, pen dapat tersebut tidak berguna untuk suatu kebaikan. Selain itu, pendapat yang disampaikan dengan cara yang tidak baik, juga akan dapat menyakiti orang lain dan berujung pada malapetaka.

Kedua, berpendapatlah sesuai dengan kadar kemampuan dan pengetahuan yang kita miliki. Ketika suatu pokok permasalahan yang kita tanggapi bukan merupakan bidang kompetensi yang kita kuasai, pilihan yang terbaik bagi kita adalah bersikap diam.

Fenomena yang sering terjadi, seseorang dengan mudah asal berpendapat dan menghakimi orang lain yang berbeda pandangan, hanya karena keterbatasan pengetahuan dan kapasitas yang dimilikinya. Allah SWT berfirman, Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabannya. (QS al-Isra': 36).

Ketiga, menghargai pendapat orang lain. Sebagai mukmin yang baik, kita harus mampu menghargai setiap pendapat yang disampaikan oleh orang lain, terlepas dalam bentuk perbedaan pemikiran dan pandangan yang berasal dari siapa saja. Menghargai pendapat orang lain sama halnya dengan menghormati keberadaan hak-hak orang lain dan mengakui adanya sunatullah perbedaan sebagai rahmat.

Keempat, hendaknya kita bersegera meminta maaf apabila pendapat yang kita sampaikan ternyata tidak sesuai dengan permasalahan yang ada. Meminta maaf atas kesalahan dalam berpendapat merupakan tindakan yang sportif karena kita mampu menurunkan ego, mengakui keterbatasan kemampuan diri, dan menyadari kesalahan pendapat yang kita sampaikan.

Dengan meminta maaf, setidaknya dapat meredam ketegangan dan kekacauan dalam menyikapi setiap permasalahan. Wallahu a'lam bisshawab.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement