REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Pihak Ketiga (DPK) PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) kerap ‘terbang’ ke instrumen investasi lain, termasuk Surat Berharga Negara (SBN) ritel milik pemerintah. Dalam catatan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, besarannya dapat mencapai 30 persen dari total yang dimiliki BCA.
Jahja menuturkan, pihaknya sejauh ini sudah memberikan dukungan terhadap penawaran SBN Ritel kepada masyarakat melalui perannya sebagai mitra distribusi (midis) online. Bahkan, BCA baru saja meluncurkan aplikasi yang memudahkan pembelian instrumen SBN Ritel dengan nominal kecil, yakni Rp 2 juta.
"Kalau untuk surat berharga, memang betul, tiap kali ada keluaran ritel pasti kami sendiri mendukung," katanya, Kamis (31/10).
Dalam rilis kinerja BCA pada pekan ini, DPK BCA sampai kuartal ketiga tercatat tumbuh 10,4 persen (year on year/yoy) menjadi Rp 683,1 triliun. Apabila melihat data tersebut, berarti sekitar Rp 204 triliun DPK BCA sudah ‘berpindah’ ke SBN Ritel yang ditawarkan pemerintah selama ini.
‘Terbangnya’ DPK dari perbankan bukan tanpa sebab. Sebab, instrumen SBN ritel milik pemerintah memang menawarkan bunga yang lebih tinggi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, memperluas basis investor untuk SBN memang menjadi prioritas pemerintah saat ini guna memperdalam pasar keuangan. Oleh karena itu, pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendekatkan instrumen investasi kepada generasi milenial. Tujuannya, agar mereka semakin familiar dengan instrumen keuangan, bahkan nominal yang kecil sekalipun.
Sri mengatakan, di tengah tingginya intensitas penerbitan SBN ritel, Kemenkeu beberapa kali mendapatkan ‘pertanyaan’ dari pihak perbankan. Tidak terkecuali dari Jahja. "Bu, kenapa ibu keluarin?" ujar Sri menirukan pertanyaan Jahja.
Sri memastikan, penerbitan SBN ritel tidak akan meningkatkan persaingan dalam merebut dana masyarakat atau kerap disebut dengan istilah crowding out. Keresahan ini kerap muncul seiring dengan persepsi bahwa SBN ritel hanya mengalihkan dana dari deposito perbankan ke pemerintah. Padahal, keberadaan SBN ritel lebih pada pengalihan instrumen non keuangan seperti properti dan emas.
Tapi, Sri memahami mengenai keresahan perbankan terkait kondisi crowding out ini. Ia menuturkan, pihaknya akan melakukan pendalaman lagi terkait dampak dari penerbitan SBN ritel.
"Kami akan kaji soal ini," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Sepanjang tahun ini, pemerintah memang gencar menerbitkan SBN untuk investor ritel. Sampai akhir tahun, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan menawarkan 10 SBN ritel dengan sembilan di antaranya telah direalisasikan hingga akhir Oktober. Pada November, pemerintah akan menawarkan instrumen terakhir, yakni Sukuk Tabungan (ST) seri ST006.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pihak perbankan sebenarnya tidak perlu cemas terhadap persaingan merebutkan dana nasabah dengan pihak perbankan. Sebab, dana hasil penjualan surat berharga itu sebenarnya akan kembali lagi ke perbankan, meski harus memakan waktu satu hingga dua tahun setelah jatuh tempo.
"Memang akan ada time leg-nya (jeda waktu)," ucapnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan, pemerintah memang harus kembali mempertimbangkan jadwal penerbitan SBN ritel yang terlalu insentif. Ia menilai, penerbitan hampir sebulan sekali itu membuat pemilik dana dihadapkan dengan terlalu banyak pilihan investasi sedangkan likuiditas sangat terbatas.
Piter mengatakan, bukan berarti pemerintah harus mengurangi jumlah instrumen SBN ritel. Hanya saja, pemerintah sebaiknya lebih mengatur jadwal penerbitan tiap SBN ritel.
"Bukan dikurangi, tapi dikelola lagi jadwalnya," ucapnya ketika dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.