Senin 18 Nov 2019 05:05 WIB

Nama adalah Doa Bagi Diri dan Kehidupannya

Di dalam Islam, nama bukan sekadar penanda.

Rep: Dialog Jumat Republika/ Red: Agung Sasongko
Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dalam Islam, nama bukan sekadar penanda. Dia adalah doa bagi diri dan kehidupannya. Semasa hidupnya, Rasulullah biasanya mengubah nama seseorang yang jelek. Dari Ibnu Umar diriwayatkan, ada seorang anak perempuan Umar bernama Ashiyyah (yang durhaka). Rasulullah pun mengganti namanya dengan Jamilah (cantik).

Dalam satu kisah, disebutkan jika Hazn RA menemui Rasulullah. "Siapa namamu?" tanya beliau. Ia menjawab, "Namaku Hazn (terjal, sedih)." Beliau lantas bersabda, "Bahkan engkau adalah Sahl (landai, mudah)." Dia berkata, "Aku tidak akan meng ubah nama yang diberikan ayahku kepadaku." Ibnu al-Mu sayyib—cucu Hazn—mengungkapkan, ternyata dia terus mengalami hal-hal yang menyedihkan (HR al-Bukhari).

Pada kesempatan lain (HR Mus lim), Jabir bin Abdillah mengisahkan bahwa Rasulullah hen dak melarang pemberian nama Ya'la (keluhuran), Barakah, Aflah (beruntung), Yasar (kemudahan), Nafi' (berguna) dan semisalnya. Namun, Nabi mendiamkannya tanpa mengatakan sesuatu apa pun tentangnya. Hingga wafat, beliau tidak melarang pengguna an nama tersebut. Umar hendak melarangnya, tetapi akhirnya membiarkannya.

Kisah lainnya dari Samurah bin Jundub RA menyebutkan, Rasulullah SAW melarang kepada para sahabatnya untuk memberi nama anak-anak mereka Yasar (mudah sekali), Rabah (selalu beruntung), Najih (kesuksesan), dan Aflah (paling beruntung). "… karena tatkala engkau ditanya, 'Apakah ia (Rabah —keuntungan) ada?' Lalu dijawab, 'Tidak ada.'" Nabi pun meneruskan, hanya empat nama tersebut yang dilarang dan tidak ada tambahan nama lainnya. Tidak hanya itu, Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bersabda, "Nama yang paling nista di sisi Allah adalah orang yang bernama Malikul Amlak (Maharaja).

Rasulullah juga secara halus menegur seorang tokoh yang di juluki Abu Hakam. Dia memanggilnya dan bersabda kepadanya. "Sesungguhnya Dialah Allah al- Hakam dan hukum merujuk kepada-Nya. Mengapa engkau dijuluki Abu Hakam?" Ia menjawab, "Jika kaumku berselisih terkait sesuatu maka mereka mendatangiku, lalu aku memutuskan perkara hukum di antara mereka dan kedua belah pihak menerima keputusanku." Rasul berkata, "Ini sungguh bagus! Apakah eng kau memiliki anak?" Ia berkata, aku memiliki anak bernama Syuraih, Abdullah, dan Muslim. "Sia pa yang tertua di antara mereka?" tanya Rasulullah. "Syuraih," jawabnya. Beliau pun bersabda, "Kalau begitu engkau Abu Syu raih." Nabi pun mendoakannya dan anaknya (HR Abu Dawud dan An-Nasa'i).

Dalam riwayat lain, Ra su lullah menegur seseorang yang memanggil orang lain dengan julukan Abu Qasim. Padahal, Abu Qasim merupakan salah satu julukan dari Rasulullah. Saat Rasulullah menoleh, orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak bermaksud memanggilmu, akan tetapi aku hanya memanggil fulan." Rasulullah bersabda, "Be ri lah nama dengan namaku, teta pi jangan menggunakan julukan dengan julukanku."

Sebagai Muslim, kita juga dilarang untuk memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Larangan tersebut turun setelah Rasulullah SAW menyapa seseorang, "Wahai fulan." Kemudian para sahabat ber kata, "Jangan demikian, wa hai Rasulullah, sesungguhnya ia marah bila dipanggil dengan na ma tersebut." Kemudian turun ayat, "Dan janganlah saling me manggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman." (QS al-Hujurat: 11).

Nama yang paling disukai adalah Abdurrahman dan Abdurrahim. Selain itu, nama para nabi dan orang-orang saleh terdahulu. Nabi juga memberi nama pang gilan (kun yah) sebagai ben tuk penghormatan kepada para sahabat. Nabi memberi kun yah kepada Shuhaib dengan Abu Yah ya dan Ali dengan Abu Turab. Dia pun memberi kun yah kepada sau dara Anas yang masih kecil de ngan panggilan Abu Umair. Nabi melarang budak memanggil tuan nya dengan sebutan rabbi, sementara sang majikan dilarang me mang gil budaknya dengan sebut an abdi dan amati (hamba lakilaki dan hamba perempuan ku).

Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontem porer, juga mengatakan, setiap na ma yang menggunakan abd dan disandarkan kepada selain Allah, hukumnya adalah haram meski itu adalah nabi, sahabat, orang saleh, ataupun wali. De ngan demikian, seorang Muslim tak boleh menyandang nama Abd Nabi, Abdul Husein, atau Abdul Ka'bah.

Ibnu Hazm yang dikutip al-Qaradhawi juga menegaskan, pa ra ulama sepakat terhadap ha ram nya setiap nama yang menggunakan abd dirangkai dengan selain nama-nama Allah. n

Ensiklopedi Hadis karya Abdullah bin Abdul Aziz bin Muhammad Al Luhaidan dan Fatwa-Fatwa Kon temporer karya Yusuf Qaradhawi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement