Senin 18 Nov 2019 11:11 WIB

Kisah Mantan Atlet Senam Berprestasi Korban Penggusuran

Amin Ikhsan kini tengah berjuang mengobati sakit ginjal yang diderita sejak 2014.

Mantan atlet senam asal Kota Bandung, Amin Ikhsan
Foto: Foto: Amin Ikhsan
Mantan atlet senam asal Kota Bandung, Amin Ikhsan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Fauzi Ridwan

Kisah mantan atlet berprestasi di Indonesia yang di masa tuanya 'terlupakan' pemerintah masih saja terjadi. Salah satunya menimpa seorang mantan atlet senam asal Bandung, Amin Ikhsan (46) yang kini tengah berjuang mengobati sakit ginjal yang dideritanya sejak 2014 lalu.

Di tengah kondisinya yang tengah sakit, peraih medali emas, perak dan perunggu di ajang kompetisi regional, nasional dan internasional ini pun harus berjuang lebih keras. Sebab, rumah yang ditinggalinya di Kiaracondong serta beberapa rumah kontrakan yang menjadi ladang usahanya telah dirobohkan pemerintah pada 2015 lalu.

Bangunan rumah dan lainnya milik Amin berada di lahan milik Pemerintah Kota Bandung. Saat itu, pemerintah merencanakan pembangunan taman yang kini sudah berdiri bernama Kiara Artha Park. Amin bersama puluhan kepala keluarga (KK) harus angkat kaki.

Amin mengaku mulai menderita sakit ginjal pada 2014 lalu saat kegiatan pekan olahraga daerah (Porda) di Bekasi, Jawa Barat tengah berlangsung. Akibatnya, ia lebih cepat dipulangkan dari kegiatan agar segera mendapatkan perawatan cuci darah.

Setahun kemudian, tepatnya 2015, ia kembali memperoleh kabar buruk. Rumah, studio musik dan kontrakan miliknya di Kiaracondong yang berada dilahan pemerintah harus dirobohkan untuk dibangun taman.

"2015 rumah saya ada penggusuran, yang  disayangkan tidak ada peringatan SP 1, SP 2 dan SP 3. Hari ini diumumkan, dua hari kemudian dibongkar. Pak Ridwan Kamil (wali kota saat itu) bilang warga tidak ada pembongkaran tapi saat pabrik dibongkar, kita kena," ujarnya, Ahad (17/11).

Bahkan katanya, warga diberi waktu hanya 15 menit untuk mengambil barang-barang di rumah mereka yang akan dirobohkan. Akibat waktu yang sempit, Amin mengaku hanya bisa menyelamatkan medali-medali. Sedangkan piala-piala yang diperolehnya dengan susah payah terkubur bersama puing-puing bangunan.

Dirinya sempat didatangi Ridwan Kamil dan disarankan pindah ke mess Persib agar fokus merawat diri. Namun, ia memilih bertahan dilokasi penggusuran sebab bertanggung jawab kepada 52 kepala keluarga yang ada.

"Saya bilang ke Ridwan Kamil beresin dulu warga yang penting penggantian bangunan saja. Cuma pengin bangunan saja diganti, semenjak itu tidak ada pembicaraan selanjutnya dengan Pak Ridwan Kamil," katanya.

Seusai pembongkaran, sebagian warga memilih mengikuti saran pemerintah untuk direlokasi ke Rancacili, Kota Bandung. Namun, ia bersama 52 kepala keluarga (KK) lainnya enggan direlokasi dan memilih menuntut pemerintah secara hukum.

"Saya merasa tidak adil pemerintah, saya punya studio musik, kontrakan tiga pintu, rumah dua lantai itu jerih payah dari (jadi) atlet. Kalau saya dapat bonus, uang dibuat usaha bikin kontrakan dan studio musik, biaya buat anak dan orangtua biar enggak kesusahan. Setelah penggusuran usaha saya rata dan diganti (hanya) Rp 5 juta," katanya.

Amin pun mengambil jalur hukum dengan dibantu oleh lima pengacara. Namun, di tingkat MA, gugatan warga ditolak. Satu tahun setengah terakhir pun katanya tidak ada kabar dari para pengacara yang membantu para warga. Kompensasi dari pemerintah pun ia mengaku hingga saat ini belum ada.

"Kita harus mengadu ke mana, saya sebagai orang sakit sudah jatuh tertimpa tangga juga. Sudah enggak bisa kerja lagi, rumah diratakan. Sama sekali enggak ada kompensasi ke 52 KK. Kalau yang pindah ke Rancacili dapat Rp 5 juta tapi dipotong Rp 2,8 juta untuk administrasi," katanya.

Dirinya mengatakan, janji pemerintah yang akan memindahkan warga yang memilih di relokasi ke mess pun tidak terealisasi hingga 4 tahun terakhir. Saat ini, Amin mengaku tinggal dirumah mertuanya di Cimenyan, Kabupaten Bandung bersama istri dan ketiga anaknya. Untuk mengisi waktu luang dan menambah penghasilan, ia mengajar materi senam, pencak silat untuk siswa TK di Kota Bandung. Termasuk istrinya yang bekerja penuh saat ini.

Untuk biaya cuci darah, ia mengaku mengandalkan kartu BPJS Kesehatan. Namun, seringkali resep obat yang diberikan tidak semuanya ditanggung BPJS. Sehingga, ia pun harus merogoh kocek sendiri untuk menambah biaya tersebut.

Selama sakit, ia mengaku baru mendapatkan sekali bantuan dari pemerintah pada 2015 untuk biaya kesehatan. Beberapa waktu lalu, katanya anggota dewan pernah akan memberikan bantuan biaya kesehatan. Namun, ia menilai prosesnya terlalu berbelit-belit.

"Ada dari dewan menawarkan kalau ditransfusi darah tolong disampaikan nanti dibayar APBD, ya ribet. Saya harus cari dulu buat bayarnya," katanya. Dirinya pun berharap pemerintah bisa rutin memberikan bantuan untuk biaya kesehatannya.

Atlet senam peringkat ke 7 dunia di ajang Suzuki Awards Cup di Tokyo pada 2002 lalu ini mengaku heran dengan perlakuan yang berbeda ditunjukan kepada atlet bulutangkis dan sepakbola. "Kita mah enggak kayak atlet bulutangkis dan sepak bola," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement