REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini mengatakan usulan agar presiden kembali dipilih MPR RI memang bukan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2012. Namun, usulan itu muncul sebagai hasil refleksi dan merujuk pada hasil Munas yang meminta Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) dikembalikan ke DPRD.
"Kyai Said itu menafsirkan hasil Munas itu sebagai kiasnya. Argumen dalam munas itu menolak kerusakan pada Pilkada, sedangkan saat ini pada level yang lebih tinggi (Piplres) juga sudah terjadi kerusakan," kata kata Helmy kepada Republika, Jumat (29/11).
Dokumen Munas 2012 itu, kata Helmy melanjutkan, memang khusus menyebut soal Pilkada, tapi tetap bisa dijadikan rujukan untuk melihat proses demokrasi yang berlangsung sekarang. Termasuk Pilpres 2019, di mana terjadi ketegangan, pembelahan masyarakat, konflik dan korban nyawa.
"Tidak ada masalah orang mau bongkar-bongkar naskah Munas NU. Tapi, hukum itu tidak letterlijk (pemahanan yang hanya berpaku pada teks yang tertera)," kata Helmy, tegas.
Helmy pun mencontohkan hal itu dalam membaca teks Aaquran. Di mana terdapat ayat yang melarang seseorang mengatakan 'huf' kepada orang tuanya. Namun, kata dia, bukan berarti seseorang boleh memukul orang tuanya lantaran hanya dilarang mengatakan 'huf'.
"Itu kiasnya. Berkata 'huf' atau 'ah' saja tidak boleh, apalagi memukul. Jadi membaca dokumen itu tidak hanya letterlijk-nya, kita yang membuat kiasnya," jelas Helmy.
Meski setuju Pilpres kembali lewat MPR, kata Helmy, semua itu dismpaikan KH Said sebagai sebuah usulan dan bukan sesutu yang bersifat mutlak. "Mari kita diskusikan bersama," ucapnya.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Rabu (28/11), mengatakan pihaknya mendukung Pilpres melalui MPR berdasarkan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama pada 2012. Munas Alim Ulam NU tahun 2012 itu dihelat di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.