REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pesantren pun tumbuh subur di lingkungan kebudayaan Betawi. Dalam buku Pesantren di Ibu Kota: Sejarah dan Perkembangan, Ustaz Rakhmad Zailani Kiki menegaskan, pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Betawi. Jejak sejarah pesantren dapat dilacak, setidaknya sejak abad ke-14 Masehi, yakni ketika Pondok Pesantren Syekh Quro berdiri.
Selama ini, banyak orang yang mengira Jakarta tidak punya sejarah pesantren; yang ada, hanyalah majelis taklim. Padahal, justru pesantren pertama kali yang ada di Tanah Jawa itu adanya di Betawi, ujar Ustaz Kiki saat ditemui Republika di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jakarta, beberapa hari lalu.
Menurut dia, pesantren yang pertama kali berdiri di Jakarta dan sekitarnya ialah Pondok Pesantren Syekh Quro. Institusi ini berlokasi di Karawang (Jawa Barat). Ustaz Kiki mengatakan, Karawang termasuk wilayah kebudayaan Betawi. Tidak ubahnya Bekasi, Bogor, Depok, atau Tangerang. Pendapat ini, lanjut sekteratis Rabithah Ma'ahid Islamiyah NU Jakarta tersebut, sejalan dengan pandangan sejarawan Betawi Ridwan Saidi.
Itu (Karawang) masuk wilayah kebudayaan Betawi. Dan pertama kali yang mendirikan pesantren di Tanah Betawi ini adalah Syekh Quro dari Campa, ucap dia. Menurut penelitian Ridwan Saidi, Syekh Quro termasuk kalangan ulama yang pertama kali mendakwahkan Islam kepada masyarakat Betawi.
Ketokohan Syekh Quro memang tak diragukan lagi. Nama lainnya ialah Syekh Qurotul Ain, Syekh Mursyahadatillah, atau Syekh Hasanuddin. Bagaimanapun, nama Syekh Quro agaknya lebih dikenal. Sebab, sebagai seorang qari Alquran, dirinya bersuara amat merdu. Alim tersebut merupakan putra seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syekh Yusuf Siddiq.
Tidak diketahui secara pasti kehidupan masa kecil Syekh Quro. Dalam buku berjudul Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul 'Ain, tokoh tersebut diketahui pernah berdakwah di Campa dan Malaka. Se lanjutnya, pada awal abad ke-15 dia me nyambangi daerah Martasinga Pasam bangan dan Japura. Akhirnya, dia sampai di pelabuhan Muara Jati, Cirebon (Jawa Barat).
Beberapa tahun kemudian, Syekh Quro kembali ke wilayah Pajajaran dengan menumpangi kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho saat melawat wilayah Majapahit. Syekh Quro dan sejumlah pengikutinya pun tiba di Karawang.
Pada 1418 penguasa Karawang waktu itu mengizinkan Syekh Quro dan rombongannya untuk mendirikan masjid. Area sekitar tempat ibadah itu dijadikan sebagai tempat tinggal. Mulai saat itu, ulama tersebut merintis pembangunan pondok pesan tren pertama tidak hanya di Tanah Betawi, tetapi mungkin juga seluruh Indonesia.
Belakangan, masjid tersebut dikenal luas sebagai Masjid Agung Karawang pada masa modern. Jasad Syekh Quro dimakamkan dalam area kompleks tempat ibadah itu. Hingga kini, banyak peziarah menyempatkan diri untuk mengunjungi pusara ulama besar itu.
Sebagai contoh, KH Ma'ruf Amin dalam suatu kesempatan berziarah ke makam Syekh Quro di Karawang. Menurut dia, perintis dakwah Islam di tanah Betawi itu juga menurunkan raja-raja yang akhirnya memerintah Kesultanan Banten. Termasuk sultan Banten itu adalah keturunan beliau (Syekh Quro), ujar Kiai Ma'ruf yang kini menjabat sebagai wakil presiden RI.