REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menyebut pemerintah masih akan menunggu argumentasi DPR terkait rancangan undang-undang (RUU) perlindungan agama dan simbol agama. Hal ini setelah DPR memasukkan RUU tersebut dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020.
Kiai Ma'ruf menyebut RUU tersebut masih sebatas usulan DPR dan belum dibahas dengan pemerintah. "Itu masih dalam ranah inisiatif DPR, belum dibahas dengan pemerintah. DPR punya hak. Kalau memang itu nyata perlu dilindungi, kita lihat argumentasinya seperti apa," ujar Kiai Ma'ruf saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (17/12).
Karena itu, ia enggan mengomentari lebih jauh terkait RUU tersebut, termasuk terkait urgensi RUU tersebut untuk melindungi tokoh agama maupun simbol agama. "DPR saya kira punya hak. DPR menganggap perlu ada UU perlindungan terhadap tokoh agama karena katanya rentan diperlakukan, dipersekusi, diintimidasi, dikriminalisasi," ujar Kiai Ma'ruf.
Namun, Kiai Ma'ruf tidak memungkiri bahwa tokoh agama kerap menjadi sorotan maupun kritikan banyak pihak. Itu juga yang dirasakan Kiai Ma'ruf sebagai salah satu tokoh Indonesia. "Saya tidak. Kalau dikritik sih biasa yang tidak sependapat dengan saya, dikritik, dikonter, itu biasa. Ya mungkin ada banyak pihak yang merasakan itu sehingga DPR menangkap itu, kemudian dirancang dan menjadi inisiatif DPR,\" ujar ketua nonaktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Ketua DPP PKS Bidang Politik, Hukum, dan HAM Al Muzzamil Yusuf menegaskan, RUU ini dibutuhkan agar seluruh tokoh agama yang diakui di Indonesia mendapat perlindungan dalam menyebarkan ajaran dan keyakinannya. "Tokoh agama yang kami maksud adalah setiap pemuka agama di Indonesia yang mengajarkan nilai-nilai agama dan berceramah di hadapan masyarakat luas," ujar Al Muzzammil.
Ia menjelaskan, perlindungan tokoh agama yang dimaksud dalam RUU ini adalah harus ada aturan hukum yang mencegah pengadangan, intimidasi, maupun persekusi kepada tokoh agama di Indonesia. Dengan RUU ini nantinya aparat memiliki payung hukum untuk melindungi tokoh agama menyebarkan ajaran dan keyakinannya. Selain itu, RUU perlindungan tokoh agama dibutuhkan untuk menyelesaikan adanya ketidaksetujuan sekelompok pihak dengan ceramah atau pidato ajaran agama tokoh agama.
RUU Prioritas
DPR akhirnya menutup masa sidang I tahun 2019-2020 dalam sidang paripurna, Selasa (17/12). Sidang dipimpin langsung Ketua DPR Puan Maharani. Dalam pidatonya, Puan membeberkan sejumlah pekerjaan yang telah dilakukan selama masa sidang I ini. Di fungsi legislasi, DPR bersama pemerintah baru saja menetapkan daftar program legislasi nasional rancangan undang-undang tahun 2020-2024.
"Terdapat 248 RUU yang masuk dalam daftar program legislasi nasional dan 50 RUU yang menjadi rancangan undang-undang prioritas tahun 2020," ujarnya. Menurut dia, jumlah tersebut merupakan target yang prestisius sekaligus menjadi tantangan.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ibnu Multazam menyatakan, selain RUU perlindungan tokoh agama dan aimbol keagamaan, terdapat juga omnibus law dalam 50 RUU prioritas 2020. Omnibus law itu meliputi RUU tentang perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan/RUU tentang kesehatan nasional, RUU tentang kefarmasian, RUU tentang cipta lapangan kerja, dan RUU tentang ibu kota negara.
Untuk tahun 2019-2024, terdapat 248 RUU yang ditarget DPR yang juga turut diresmikan dalam sidang paripurna pada Selasa. Dalam rencana lima tahun itu, masih ada sejumlah omnibus law yang ditargetkan rampung, di antaranya RUU tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian dan RUU tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan (omnibus law).
Omnibus law tersebut menjadi sejumlah RUU yang diharapkan Presiden Joko Widodo agar diselesaikan sebagai salah satu perwujudan misi reformasi hukum dan birokrasi. Kendati demikian, sesaat sebelum hal tersebut disahkan, sejumlah interupsi muncul. Salah satunya dari anggota DPR Fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily. Ace menilai ratusan RUU prolegnas itu harus dikaji lebih dalam. Ace meminta pendalaman itu harus diserahkan kepada komisi-komisi terkait.
"Maka, terus terang saja, secara pribadi saya tidak terlalu yakin ini bisa diselesaikan karena kalau kita lihat poin-poin rancangan prolegnas ini ada yang perlu dikaji lebih. Supaya ini menyangkut akuntabilitas kita, pertanggungjawaban kita kepada masyarakat," ujar dia. DPR akan memulai reses pada tanggal 18 Desember 2019 sampai 10 Januari 2020 mendatang. N fauziah mursid/arif satrio nugroho, ed: agus raharjo