REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Liverpool akan menghadapi Flamengo di partai final Piala Dunia Antarklub, Ahad (22/12) dini hari nanti. Pertemuan kedua tim ternyata bukan pertama kali dalam momen yang hampir serupa. Keduanya, pernah berebut piala klub terbaik di bumi pada 1981.
Dilansir dari rangkuman di Goal.com pada Sabtu, (21/12), Liverpool pernah berhadapan dengan Flamengo, saat masih ditangani pelatih legendaris mereka Bob Paisley.
Sebagai manajer di masa keemasan Liverpool tahun 1970-80'an, ia meraih tiga gelar juara liga dan tiga piala Eropa dalam periode sembilan tahun. Akan tetapi pada Desember 1981, Paisley dipaksa meminta maaf setelah the Reds tumbang.
"Kami seperti sebuah tim yang dihajar habis-habisan," akunya sesaat setelah jawara Eropa tersebut tersungkur di hadapan Flamengo 3-0 di Piala Intercontinental di Tokyo.
Penilaian jujur Paisley soal aksi para pemainnya di Jepang dibenarkan oleh sejumlah bintang the Reds kepada harian Brasil Folha. Persiapan serius dilakukan Flamengo menyikapi pertandingan. Tapi pasukan dari Merseyside, seperti kebanyakan tim-tim Inggris lainnya di masa lalu dan sekarang, tidak bergairah menyikapi pertarungan antar benua ini.
"Persiapan kami untuk pertandingan itu sungguh buruk. Kami merasa laga itu hanyalah persahabatan. Kami tidak pernah membayangkan Flamengo akan bermain serius. Kami jauh dari status tim terbaik Eropa," kenang Phil Thompson Kapten Si Merah kala itu.
Meski dengan persiapan yang jauh dari ideal, Liverpool tetap menginjakkan kaki di atas lapangan dengan status tim favorit. Dengan sederet bintang seperti kiper Ray Clemence, legenda Skotlandia Kenny Dalflish dan bek seperti Thompson dan Alan Hanse, Liverpool tampil di Piala Intercontinental untuk pertama kali setelah absen pada 1977 dan 1978. Mereka membidik kesempatan menjadi tim Ingris pertama yang menjadi juara.
Tetapi Flamengo bukan lawan ringan. Mereka dilatih oleh mantan gelandang Brasil Paulo Cesar Carpegiani yang ketika itu baru berusia 31 namun mampu membawa timnya menang atas tim Cile Cobreloa untuk menjadi juara Copa Libertadores pertama kali. Di tahun berikutnya mereka menyumbang tiga pemain ke skuad Selecao yang tampil mengesankan di Piala Dunia 1982.
Bek seperti Junior dan Leandro selalu tampil solid tetapi ada pemain lain yang jauh lebih gemilang dan mencuri perhatian dunia. Nama Zico saja sudah cukup untuk membuat merinding mereka yang menghadapinya. Zico di usia 28 tahun sedang berada dalam performa terbaik. Dia mengoleksi 11 gol saat Flamengo berjaya di Libertadores, termasuk dua di partai final dan harumnya nama Zico tercium hingga Anfield.
"Flamengo? Kami hanya tahu satu hal, yaitu Zico. Dia punya teknik hebat, brilian saat menendang bola mati. Setelah 90 menit pertandingan saya menyadari dia lebih dari itu," tutur Thompson.
Carpegiani juga menuntaskan pekerjaannya dengan apik. Dia mendapat rekaman video pertandingan kesuksesan Liverpool di Eropa. Tetapi sebenarnya pemain Flamengo tidak terlalu mempedulikannya.
"Saya tidak fokus pada hal-hal seperti itu. Saya hanya ingin berlatih dan membuat lawan memikirkan saya," kenang Andrade.
Sebagai catatan tambahan, hanya sedikit waktu tersedia untuk mempersiapkan diri bagi Flamengo. Setelah merajai Libertadores pada 23 November, tim Brasil tersebut hanya punya waktu kurang dari tiga pekan untuk bermain di Stadion Nasional Tokyo.
Ketika laga baru berjalan 12 menit, Zico menerima bola dari lini tengah, kemudian mengangkat ke depan yang mengecoh barisan pertahanan the Reds. Nunes sendirian dan menuntaskan peluang dengan menaklukkan Bruce Grobbelaar.
Zico juga menjadi otak terciptanya gol kedua. Grobbelaar menepis tendangan bebas pemilik nomor 10 tersebut dan bola liar dimanfaatkan Adilio.
Ketika laga memasuki menit 41, Liverpool benar-benar dipermalukan. Lagi, Nunes memanfaatkan umpan brilian Zico dan melakukan tusukan untuk memaksa Grobbelaar memungut bola dari jaring gawangnya. 3-0.
Flamengo nyaman memasuki babak kedua, sementara Liverpool tidak bisa berbuat banyak untuk bangkit. Jauh sebelum wasit membunyikan peluit tanda bubaran pertandingan, fans di Jepang sudah memperlihatkan dukungannya pada Flamengo hingga Tokyo terasa bagai kandang sendiri.
"Kami sudah mati secara fisik maupun mental," ucap Paisley di hadapan reporter setelah pertandingan saat itu.
38 tahun setelah momen tersebut, kedua tim kembali bertemu untuk memperebutkan status tim terbaik di plamet ini. Lagi-lagi the Reds tidak bisa menganggap remeh tim kuat asal Brasil itu.
Sebagai contoh, skuad Selecao di Copa America 2019 diperkuat dua pemain Liverpool tetapi tidak satu pun berasal dari Flamengo, secara total tim Samba hanya diperkuat tiga pemain dari klub lokal.
Di penghujung 2019, Flamengo akan memasuki lapangan dengan status underdog mengingat di atas kertas the Reds punya kualitas dan finansial yang lebih baik. Tetapi Gabigo, Felipe Luis, Rafinha dan semua anggota tim Flamengo berharap bisa mengulang kisah Zico di Doha. Flamengo akan berusaha memberikan kekalahan bersejarah lainnya pada Liverpool.
Rizky Surya