REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada era kemerdekaan, para ulama dan kiai kebanyakan berjuang di jalur kultural dengan mensyiarkan ajaran Islam dan membina umat. Namun, beberapa ulama memilih untuk berjuang di jalur struktural pemerintahan, salah satunya adalah KH Idham Chalid.
Tokoh yang akrab disapa Pak Idham ini merupakan ulama yang besar di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Pak Idham pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) selama 28 tahun mulai 1956 sampai 1984.
Selain dikenal sebagai ulama, Pak Idham juga dikenal sebagai seorang intelektual dan guru politik orang NU. Pada masa Pak Idham, para pemimpin NU menganggap politik sebagai sarana untuk mewujudkan kepentingan keagamaan dan melayani umat.
Saat terjun ke dunia politik, Pak Idham pun mendapatkan amanah di pemerintahan sebagai wakil perdana menteri. Sejak saat itu, Pak Idham selalu mendapat jabatan penting dalam pemerintahan.
KH Idham Chalid dilahirkan di Setui, dekat wilayah Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1922. Ia merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya yang bernama H. Muhammad Chalid berprofesi sebagai seorang penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.
Dalam buku berjudul "Idham Chalid: Guru Politik Orang NU", Ahmad Muhajir menceritakan, saat usia Idham menginjak enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya. Idham pun menghabiskan masa kecilnya di sana.
Idham termasuk anak yang cerdas dan berbakat, sehingga saat mendaftar ke Sekolah Rakyat (SR) ia langsung ditempatkan di kelas dua. Sejak duduk di sekolah dasar ini, kemampuannya dalam berpidato sudah mulai kelihatan. Kemampuannya ini kelak diakui secara luas, baik di Amuntai maupun di kancah nasional.
Bahkan, menurut Ahmad Muhajir, dai selevel Zainuddin MZ dan Syukron Makmun pun pernah berguru kepada Pak Idham. Kemampuannya dalam berpidato dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati, sehingha menjadi modal bagi perjalannya politiknya di masa depan.
Idham menamatkan pendidikan dasarnya pada 1935 dan lanjut bersekolah di Madrasah Al-Rasyidiyyah. Sekolah tersebut didirikan oleh Tuan Guru H. Abdurrasyid pada 1922, yang merupakan ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Idham belajar di sekolah ini selama tiga tahun.
Sejak saat itu, Idham semakin sering diundang untuk berceramah di berbagai acara dan pertemuan. Namanya pun semakin dikenal, baik di kalangan teman-temannya maupun di kalangan para pemuka agama di daerah yang didatanginya.
Namun, keluarganya menginginkan Idham untuk tetap melanjutkan pendidikannya. Sayang jika kecerdasan yang dimiliki Idham tidak dikembangkan dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Akhirnya Idham melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Modern Gontor.
Di Gontor, dia belajar di Kulliyah al-Muallimin al-Islamiyah dan di tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw. Setelah lima tahun mondok di sana, Idham mampu menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dibandingkan santri lainnya. Pada 1943, ia pun meneruskan studinya ke Jakarta.
Tidak lama kemudian, Idham kembali ke Gontor dengan menjadi guru sekaligus menjadi wakil direktur di sana. Saat mengabdi di Gontor dari 1943 sampai 1944, kemampuannya dalam berorganisasi semakin meningkat. Di sana, dia juga mampu mengusai bahasa Arab, Inggris, dan bahasa Jepang.
Pihak Jepang sangat senang dengan adanya anak muda pribumi yang menguasai bahasa mereka. Bahkan, pemerintah kolonial Jepang sempat mengundang Idham ke negeri berjuluk matahari terbit tersebut. Seorang tokoh NU, Sifuddin Zuhri bahkan menyaksikan sendiri saat Idham menjadi penerjemah pejabat Jepang yang berbicara di depan para alim ulama dan tokoh Islam lainnya.
Selain itu, Idham juga fasih dalam berbahasa Belanda. Sedangkan bahasa Prancis dan bahasa Jerman dikuasainya secara pasif. Dengan demikian, Idham setidaknya mampu memahami enam bahasa Internasional.