Senin 30 Dec 2019 05:00 WIB

KH Idham Chalid, Pejuang NU di Jalur Struktural (2)

KH Idham Chalid menguasai banyak bahasa dunia.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Idham Chalid
Foto: satuborneo.com
Idham Chalid

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1945, Pak Idham kembali ke kampung halamannya di Kalimantan Selatan dan tak lama kemudian diminta untuk memimpin bekas sekolahnya, yakni Madrasah Rasyidiyyah. Pasalnya, sekolah tersebut telah mengalami kekosongan pemimpin dalam rentan waktu hampir setahun.

Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama merantau di tanah Jawa, Pak  Idham mengembangkan sekolah tersebut dan mengubah namanya menjadi sekolah Normal Islam Amuntai. Normal sendiri diambil dari bahasa Belanda, Noormaal, yang berarti sekolah lanjutan.

Baca Juga

Di sekolah itu, dia menambahkan mata pelajaran ilmu eksakta dan pengetahuan umum. Dia pun tetap mempertahankan pengajaran ilmu-ilmu agama beserta ilmu penunjangnya. Perbandingannya adalah 60 persen pelajaran agama, dan 40 persen pelajaran umum.

Di kampung halamannya, Pak Idham juga membangun jaringan pesantren yang bernama Ittihad Ma'ahid Islamiyyah (IMI). Namanya pun semakin dikenal luas. Namun, dia merasa perjuangannya di jalur kultural tersebut belum cukup. Pak Idham masih ingin berjuang demi bangsa dan tanah airnya.

Dalam sejarah perjuangannya untuk bangsa, Pak Idham tercatat sebagai Sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (HSU) di kota Amuntai pada 1945. Pada saat itu, Pak Idham juga menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai. Aktivitasnya di partai ini lah yang kemudian melambungkan namanya di pentas politik nasional.

Karir politik

Karir politiknya dimulai ketika Pak Idham mendapatkan amanah sebagai Ketua Partai Masyumi Amuntai pada 1944 sampai 1945. Pada masa kemerdekaan, dia juga aktif sebagai anggota Badan Kemanan Rakyat (BKR).

Pak Idham juga pernah duduk sebagai anggota DPR pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak 1949 hingga 1950. Selain itu, dia juga pernah menjadi sekretaris pribadi KH. A. Wahid Hasyim, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Hatta.

Hubungan Pak Idham dengan ayah Gus Dur itu pun menimbulkan simpati dari kalangan NU. Pak Idham kemudian diangkat sebagai Ketua Maarif NU, yang selama ini dipegang oleh Kiai Wahid Hasyim. Bahkan, Pak Idham mendapatkan kepercayaan sebagai pimpinan Gerakan Pemuda Anshor selama beberapa tahun lamanya.

Pada 1952, Pak Idham juga menjabat sebagai Sekretaris Umum PBNU. Pada Muktamar NU ke19 di Palembang, NU pun memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadi parati politik. Pak Idham mendampingi KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam menghadapi perkembangan baru tersebut.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Pak Idham mulai banyak dikenal oleh pengurus NU di tingkat cabang. Pada Pemilu 1955, Pak Idham aktif berkampanye untuk Partai NU. Sebagai hasilnya, ia pun ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada 1956 sampai 1957.

Pada Muktamar NU ke-21 yang digelar di Medan pada 1956, Pak Idham juga berhasil menduduki puncak kepemimpinan organisasi NU dengan menjadi Ketua Umum PBNU. Kemudian, pada kabinet berikutnya, ia kembali dipilih sebagai Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Djuanda pada 1957 sampai 1959.

Meskipun berasal dari kalangan pesantren, Pak Idham mampu menduduki berbagai jabatan penting di pemerintahan. Sampai 1991, Pak Idham masih duduk sebagai salah seorang Ketu Tim Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (TP-7).

Setelah tidak banyak aktif di dunia politik, pehatian Pak Idham lebih ditujukan pada perkembangan keagamaan dengan berceramah di berbagai tempat. Atas kiprahnya sebagai seorang politisi, aktivis kemerdekaan, pemimpin negara, dan pejabat negara, Pak Idham pun mendapatkan banyak perhargaan.

Sejarah mencatat, Pak Idham pernah mendapatkan perngharagaan Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada 1956. Pernghargaan tersebut diberikan atas perjuangannya melawan penjajah saat bersama para gerilyawa di Kalimantan. Presiden Soekarno juga pernah memberikan penghargaan Bintang Mahaputra pada 1960.

Sedangkan di bidang akademik, Pak Idham mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir dalam bidang penengtahuan Islam dan perjuangan Islam pada 1959. Pada 1983, Pak Idham juga sempat mendapatkan tawaran untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun ia menolaknya.

Pak Idham menghembuskan nafas terkahirnya pada 11 Juli 2010 di kediamannya, kawasan pendidikan Darrul Ma’arif, Cipete, Jakarta Selatan. Meskipun sudah wafat pada usia 88 tahun, pernghargaan pun tetap diberikan kepadanya.

Satu tahun setelah wafat, Pemerintah Indonesia menetapkan KH. Idham Chalid sebagai pahlawan nasional. Gelar pahlawan itu diberikan kepadanya melalui Keppres 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement