Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveller dan Penulis Buku
Pria sepuh itu berwajah teduh. Aura keshalehannya membuat saya tertunduk ta'zim. Senyum tipisnya begitu tulus. Saya merasakan kehangatan hati dari setiap kata yang diucapkan sekalipun tak paham maknanya.
"Imam sangat bersyukur sekali atas kedatangan Ibuku di Masjid Imam Al Bukhari. Beliau mengucapkan selamat datang dan senang sekali melihat buku Journey to Samarkand ini," jelas Sanjar mulai menerjemahkan.
Saya katupkan tangan kanan ke dada kiri untuk menunjukkan rasa syukur yang ada. Sebuah kehormatan yang tiada kira Imam Besar Mufti Samarkand bersedia menerima audiensi saya.
Lalu saya minta diterjemahkan tentang proses penulisan buku Journey to Samarkand yang mengantarkan saya ke tempat ini dua tahun lalu. Juga hari ini untuk menyerahkan buku yang telah jadi.
Saat saya meminta foto bersama, Imam berjalan ke lemari yang ada di pojok ruangan. Mengambil serban putih untuk menggantikan doppi yang tadi dikenakannya.
Ia lalu mempersilakan saya dan Lambang memasuki makam Imam Bukhari dengan diantar beberapa petugas.
Makam Imam Bukhari berada di basement. Di bawah bangunan megah yang kalau di Jawa disebut cungkup. Peziarah umum hanya diperkenankan berdoa di sekitar cungkup. Disediakan kursi-kursi panjang yang menempel di dinding bagi yang ingin mengaminkan doa yang dibacakan para petugas.
Basement tempat makam Imam Bukhari hanya dibuka untuk tamu-tamu negara atau yang telah mendapat izin khusus dari Imam.
Syukur tiada kira, untuk kedua kalinya saya diizinkan memasuki ruang ini.
Nisan berselimut kain hijau itu tepat berada di tengah ruangan yang tak terlalu luas. Sederet kursi disediakan bagi peziarah. Lantai ruangan beralas karpet tebal. Kita harus melepas sepatu untuk masuk ke ruang ini.
Saya tundukkan kepala dalam-dalam. Saya deraskan doa sepenuh hati. Semoga Allah luaskan kuburnya, jadikan seindah taman surga.
“Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu… .”
Sang Imam terlahir dengan nama lengkap Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Ismā‘īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Bardizbah al-Ju‘fī al-Bukhārī.
Orang-orang lebih mengenalnya sebagai Imam Bukhari. Sebutan Bukhari merujuk pada kota tempat kelahirannya di Bukhara, 13 Syawal 194 Hijriah (21 Juli 810 Masehi).
Di usia enam tahun, ia telah meninggalkan Bukhara menuju Mekkah dan Madinah untuk belajar agama. Lalu ke Kufah, Baghdad, Mesir, Damaskus, Homs, dan banyak negeri lain yang disinggahinya.
Sepanjang perjalanannya itu, ia menemui 80.000 perawi hadis. Tak kurang satu juta hadis dihafalnya.
Dari satu juta hadis, sekitar 7.275 disahihkannya ke dalam kitabnya yang fenomenal, Al Jami'al-Shahih Al Musnad min Haditsi Rasulullah SAW atau yang lebih dikenal Shahih Bukhari.
Karyanya terbagi dalam 97 kitab dan 3.451 bab, yang hingga kini masih menjadi rujukan utama. [Selengkapnya baca buku Journey to Samarkand].
Pamit dari makam Imam Bukhari, berempat kita menyusuri malam di kota Samarkand. Kota ini telah mendapat tempat khusus di hati saya. Rasanya seperti pulang ke Solo. Kepingan-kepingan kenangan muncul satu per satu.
Keindahan Zahi sinda. Romantisme Masjid Bibi Khaynm. Juga kemegahan Registan Square.
Saya menitikkan air mata saat melihat bangunan madrasah yang begitu agung. Yang saya pilih sebagai cover buku Journey to Samarkand. Bukan sekadar karena keindahannya. Tapi juga bentuk penghormatan pada madrasah sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Keesokan harinya, Sanjar telah membuatkan janji temu dengan Imam Eshonqulov Zayniddin Sadriddin Ugli. Ia adalah Imam Besar Mufti Samarkand yang saya temui dua tahun lalu saat mulai penulisan buku Journey to Samarkand.
Saat ini ia menjabat sebagai kepala para mufti di Samarkand. Hari ini saya akan menyerahkan buku itu padanya.
Imam Eshonqulov masih mengingat saya dengan jelas. Saya merasa seperti santri yang bertemu dengan Kyai-nya setelah dua tahun berpisah. Melalui Sanjar, banyak yang saya ceritakan terkait proses penulisan buku itu.
Beliau memberikan doa-doa baik untuk kelancaran penulisan buku selanjutnya. Persis yang dilakukannya dulu. Buku saya mendapat kehormatan diletakkan di rak bukunya yang berisi kitab-kitab ternama.
Sorenya, saya ada janji temu dengan pihak KBRI untuk menyerahkan buku Journey to Samarkand. Dua tahun lalu pun saya sempat mampir ke sana ketika mulai penulisan buku itu.
Pak Andri Haekal Karnadibrata, Sekretaris Ketiga/Penerangan dan Sosial Budaya dan Protokol Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tashkent, Republik Uzbekistan, menerima dengan sangat ramah. Perbincangan yang dijadwalkan hanya 30 menit molor sampai 1 jam.
Buku Journey to Samarkand telah membawa cerita takdir yang tak terduga dalam hidup saya.
Sekali lagi saya bisikkan, "Samarkand, aku jatuh cinta."
Samarkand, 8 Januari 2020