REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam menarik investasi dari Uni Emirat Arab (UEA). Sebab, dibandingkan negara Asia, negara Timur Tengah hampir tidak mampu merealisasikan investasinya di Indonesia.
Andry memberikan contoh, rencana investasi Arab Saudi melalui Saudi Aramco di Kilang Cilacap milik PT Pertamina (Persero) sejak dua tahun lalu. Tapi, kenyataannya nihil karena dirasa infrastruktur yang ada belum terbangun.
"Mereka cenderung memilih berinvestasi di Malaysia, India dan China," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (15/1).
Sikap hati-hati yang dimaksud Andry adalah agar jangan sampai pemerintah Indonesia menjanjikan segala hal kepada UAE, namun tidak mendapatkan investasi yang dijanjikan. Atau, lebih buruk adalah Indonesia justru tidak mendapatkan apa-apa.
Kemudian, Andry menambahkan, poin yang sangat keberatan adalah memberikan kursi dewan pengarah kepada UEA untuk proyek strategis seperti membangun ibu kota baru. Menurutnya, hasrat menarik investasi asing tidak harus ditempuh dengan langkah memindahtangankan kedaulatan negara. "Saya rasa ini perlu hati-hati," tuturnya.
Menurut Andry, urusan ibu kota baru tidak hanya masalah investasi. Lebih dari itu, juga berkaitan dengan masalah keamanan dan kedaulatan, sehingga seharusnya kita sendiri yang membangunnya, bukan menggadaikan ke pihak luar.
Terlepas dari kondisi itu, Andry mengatakan, rencana pemerintah untuk menarik investasi dari UEA patut diapresiasi. Sebab, UEA merupakan negara terbesar dari Timur Tengah yang berinvestasi di Indonesia.