REPUBLIKA.CO.ID, Kisah kali ini berasal dari wanita hebat di zaman Nabi SAW. Beliau adalah Mu’adzah al-Adawiyah yang hidup pada era tabiin. Hidupnya yang selalu mementingkan ibadah kepada Allah membuatnya menjadi tokoh inspiratif kaum muslimin khususnya wanita.
Seperti yang diceritakan Jumuah Saad dalam bukunya Ibunda Tokoh-Tokoh Teladan, Mu’adzah al-Adawiyah menikah dengan seorang tabi’in yang agung, yaitu Shilah bin Asyim. Beliau adalah teladan dalam hal ilmu dan ibadah. Itulah yang membuat mereka dikenal dengan ahli ibadah.
Hingga suatu hari, Mua’dzah dan suami dikaruniai seorang putra, mereka memberi nama Shahba’. Ketika itu, mereka mendidik putranya untuk melaksanakan ibadah dalam ketaatan kepada Allah dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam keluarganya. Mereka yang berada di atas kebaikan menjadikan putranya tumbuh dan berkembang dalam kebaikan bersama kedua orang tuanya.
Suatu ketika, al-’Alla’ bin Hilal menuturkan, “Seorang laki-laki dalam barisan pasukan Islam bercerita kepada Shilah, “Wahai Abu Sahba’, tadi malam aku bermimpi. Dalam mimpiku aku meraih satu syahid dan engkau meraih dua syahid.”
Mendengar ucapan orang tersebut, Shilah berkata, “Jika begitu, engkau akan gugur sebagai syahid, beserta aku dan juga anakku.”
Saat itu pasukan Islam dipimpin komandan Yazid bin Ziyad. Di wilayah Sijistan, pasukan besar bangsa Bizantium, menyerang pasukan Islam.
Pertempuran berlangsung dengan sengit. Karena kekuatan yang tidak seimbang, pada sore harinya pasukan Islam terdesak dan dipukul mundur ke posisi semula.
Persiapan perang saat itu terlihat tenang, karena pasukan Islam mundur ke perkemahan mereka dan pasukan Bizantium kembali pula ke perkemahan mereka. Masing-masing pihak bersiap-siap untuk menerjuni kancah peperangan yang akan menentukan kekalahan atau kemenangan mereka.
Melihat persiapan saat itu, lalu Shilah berkata kepada Shahba’, “Wahai anakku, kembalilah engkau kepada ibumu!”
Mendengar nasehat sang ayah, Shahba’ justru menjawabnya dengan penuh percaya diri dan keimanan, “Wahai ayah, bukankah engkau sendiri yang menginginkan kebaikan? Kenapa engkau menyuruhku pulang?”
Lalu Shilah melihat raut percaya diri pada wajahnya. Ternyata tekad anaknya telah bulat untuk bertempur sampai meraih kemenangan atau gugur sebagai seorang syahid. Di situlah Shilah merasa sangat gembira.
Keesokan harinya, kedua pasukan kembali berhadapan untuk melakukan pertempuran. Dengan keberanian yang luar biasa, kedua belah pihak saling menyerang.
Lalu Shilah berkata pada anaknya, “Wahai putraku, majulah, kemudian berperanglah sehingga aku mengharap pahala dari kematianmu.”Akhirnya putranya berperang hingga terbunuh. Setelah itu Shilah pun maju, dan terbunuh.
Mendengar kabar itu, para perempuan berkumpul di rumah istri Shilah, Mu’adzah Al Adwawiyah. Mu’adzah berkata pada mereka,
“Selamat datang atas kedatangan kalian. Jika kalian datang untuk memberikan kabar suka cita kepadaku, maka selamat atas kedatangan kalian. Tetapi jika kalian datang untuk memberikan berita duka cita, maka silakan kalian pulang.”
Begitulah sosok ibu yang mendambakan ridha Allah SWT. Di satu sisi, Mu’adzah bersedih atas meninggalnya suami dan putranya di medan perang. Namun di sisi lain tabi’iyah teladan itu lebih merasakan bahagianya ketika menghadapi kesyahidan kedua orang yang dicintainya.
Dia adalah wanita yang sangat tekun beribadah, termasuk melakukan shalat malam. Hal inilah yang sangat terkenal di kalangan umat Islam pada waktu itu. Ia senantiasa melakukan shalat malam sampai menjelang masa sahur.
Berkatalah az-Zhahabi kepada Muadzah, “Aku telah mendengar kabar bahwa engkau senantiasa melakukan ibadah malam,” lalu Mu'adzah menjawab, “Aku sungguh merasa heran dengan mata yang senantiasa tertidur. Bagaimana tidak, di kuburan nanti mata kita akan senantiasa tertidur dan tak akan pernah bisa melakukan ibadah lagi,” jawabnya sungguh mengagumkan.