REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Amr bin al-Jamuh awalnya merupakan seorang penyembah berhala. Kepercayaan musyrik itu tak jauh beda dengan kebanyakan bangsawan Yastrib (Madinah) sebelum kota tersebut menerima dakwah tauhid. Yang terlebih dahulu masuk Islam adalah anaknya, Mu'adz bin Amr.
Pemuda ini bahkan termasuk ke dalam golongan yang mengikuti Baiat Aqabah II. Ibnu Amr juga bersahabat baik dengan Mu'adz bin Jabal. Duo Muadz ini amat kecewa lantaran banyak penduduk Madinah yang masih gemar menyembah berhala.
Padahal, jelas-jelas benda mati itu tak dapat memberikan faedah serta musibah bagi manusia. Di Yastrib saat itu, patung-patung yang menjadi sesembahan marak dipajang pada berbagai ruang publik. Adapun berhala yang dipuja Amr bin al-Jamuh—namanya Manaf—terletak di bagian muka rumahnya.
Tiap sore hari, Manaf yang menampakkan wujud manusia itu ditaruh di dalam. Duo Muadz pun bersepakat hendak menjadikan berhala tersebut sebagai bahan ejekan. Namun, hal itu mereka lakukan sedemikian rupa, sehingga Amr bin al-Jamuh terheran-heran.
Suatu malam, keduanya menyelinap ke dalam rumah, tepatnya kamar di mana berhala itu disimpan. Mu'adz bin Amr mengambil benda itu. Bersama dengan sahabatnya, ia pun melempar sesembahan ayahnya itu ke tempat orang biasa buang hajat.
Keesokan harinya, Amr tak menjumpai Manaf di lokasi biasa. Setelah mencari ke mana-mana, dia amat terkejut lantaran menemukan berhala itu di kubangan tinja. "Hoi, siapa yang nekat melakukan perbuatan ini!?: teriaknya. Namun, duo Mu'adz kembali beraksi.
Tiap malam, malahan, keduanya terus mengendap ke dalam ruangan untuk melemparkan Manaf ke dalam jamban publik. Tiap pagi pula Amr harus susah-susah menyelamatkan tuhannya agar tidak tertimbun kotoran.
Akhirnya, bapaknya Mu'adz itu merasa lelah. Dia berkata kepada Manaf, "Kalau kamu benar-benar bisa mendatangkan manfaat, maka bela dirimu sendiri!" Pada esok hari Amr lagi-lagi kehilangan berhalanya itu. Dia pun segera berlari ke tempat buang hajat. Kali ini, tidak hanya Manaf yang berkubang tinja.
Sesembahannya itu bahkan terlilit tali pada bangkai anjing yang membusuk. Melihatnya, Amr amat kesal. Kepalanya memerah, seakan-akan mau meledak. Tak lama kemudian, lewatlah beberapa pemuka Madinah yang telah memeluk Islam. Mereka bertanya, mengapa sampai tokoh Bani Salamah itu sedemikian emosi.
Amr bin al-Jamuh pun menunjuk pada berhalanya yang teronggok dalam bau dan menjijikkan. Para bangsawan Muslim itu pun menasihatinya tentang betapa nirfaedahnya menyembah selain Allah. Mereka berupaya menggugah kesadaran batin dan logika Amr. Selain itu, disampaikannya pula tentang Rasulullah Muhammad SAW, yakni budi pekertinya serta ajarannya yang membebaskan manusia dari sifat jahiliyah.
Amr bin al-Jamuh mulai menyadari kesesatannya selama ini. Dia mengucapkan terima kasih kepada mereka. Setelah bersiapsiap, dengan mengenakan pakaian terbaik, Amr pun memacu kudanya untuk segera menemui Nabi SAW. Di hadapan sang khatamul anbiya, dia mengucapkan dua kalimat syahadat serta berjanji setia.
Wafatnya sang pejuang Seperti termaktub dalam buku Biografi 60 Sahabat Nabi, kisah kepahlawanan Amr bin al-Jamuh mencerminkan keteguhan hatinya dalam iman dan Islam. Khususnya, selama Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dia teramat gemar men der makan hartanya di jalan Allah. Sifatnya itu menjadi perhatian tersendiri dalam pandangan Rasul SAW.
Tidak hanya harta benda. Amr bin al-Jamuh juga membaktikan jiwa dan raganya demi tegaknya agama Allah. Satu saja keistimewaan yang disandangnya dalam hal perjuangan fisik. Kakinya pincang, sehingga orang-orang banyak menganggap dirinya kurang pantas ikut terjun dalam kancah jihad.
Bagaimanapun, keempat anak-anaknya selalu tampil di sisi Rasulullah SAW dalam setiap pertempuran. Sewaktu Perang Badar meletus, Amr sesungguhnya teramat ingin ikut serta. Namun, putra-putranya secara halus memintanya agar mengurungkan niatnya tersebut. Nabi SAW juga memaklumkan bila Amr boleh tidak mengikuti jihad.
Bagaimanapun, Amr bin al-Jamuh bersikeras. Dia meminta-minta kepada Rasul SAW agar diizinkan turut berperang. Nabi SAW pun terpaksa menegaskan kepadanya agar tetap tinggal di Madinah.
Kesempatan Badar lewat. Kini, tibalah panggilan Perang Uhud. Begitu mendengar seruan umum, Amr bin al-Jamuh segera mendatangi Nabi SAW. Dia kembali memohon agar diizinkan bergabung. "Ya Rasulullah, anak-anakku hendak menghalangiku agar tak ikut berjihad bersamamu."
"Demi Allah, aku sangat ingin dengan kondisi kakiku ini aku dapat meraih surga," katanya memelas. Mendengar permintaan itu, Nabi SAW pun akhirnya mengizinkannya. Wa jah Amr cerah lantaran bersukacita. Dia cepat-cepat mengambil senjatanya, lantas turut dalam barisan pasukan Muslimin.
Lisannya bermunajat, Ya Allah, karuniakanlah kepadaku kesyahidan. Janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku dalam keadaan hidup. Pertempuran Uhud begitu keras. Kaum Muslimin yang awalnya di atas angin, kini menjadi terdesak dan bahkan akhirnya menderita ke kalahan.
Amr bin al-Jamuh termasuk yang gugur dalam medan jihad ini. Meskipun fisiknya kurang sempurna, sejarah mencatat kehebatan dan keberanian pemuka Bani Salamah itu. Kilatan pedangnya menebas banyak musuh Allah sebelum dirinya sendiri terhempas dalam kepulan debu.
Seperti yang diharapkannya, dia pun gugur sebagai syahid. Rasulullah SAW memerintahkan agar jasadnya dikebumikan dalam liang yang sama dengan jenazah Abdullah bin Amr bin Haram. Sebab, beliau bersaksi, keduanya semasa hidup merupakan sahabat yang saling menyayangi karena Allah.
Bertahun-tahun pascawafatnya Rasul SAW, suatu ketika kompleks permakaman para syuhada Uhud dilanda banjir. Genangan air memerlukan tindakan selekasnya. Pemimpin saat itu, Muawiyah, lantas memerintahkan agar kerangka-kerangka syuhada Uhud dipindahkan.
Dalam proses penggalian, umat menyaksikan betapa jasad para syuhada tak ubahnya ketika masih bernyawa, Jasad mereka terasa lembut dan ujung-ujung anggota tubuh mereka juga tidak kaku.
Dalam persaksian Jabir bin Abdul lah, jasad bapaknya dan Amr bin al-Jamuh tampak seakan-akan keduanya sedang tidur nyenyak. Kedua jenazah tak kelihatan rusak. Bahkan, dari bibir masing-masing tampak segaris senyuman, petanda kerelaan dan sukacita memperoleh status syahid.