REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergi dari kampung halaman bukanlah hal mudah bagi setiap orang. Begitu pun yang dialami oleh kaum Muhajirin Makkah saat pertama kali melakukan hijrah dan tiba di Madinah.
Perjalanan panjang dan melelahkan dengan menempuh jarak 477 kilometer, ditambah dengan keterpisahan fisik dengan kampung halaman, sedikit banyak menimbulkan efek psikologis rindu terhadap Makkah. Dalam buku Ali bin Abi Thalib karya Ali Audah dijelaskan, ketika rombongan umat Muslim tiba di Madinah, Rasulullah segera membangun masjid Quba.
Quba merupakan suatu tempat yang berjarak sekitar lima kilometer dari pusat Kota Madinah. Rasulullah bersama para sahabatnya kemudian beristirahat selama empat hari di wilayah tersebut dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Madinah (Yatsrib).
Dalam tahun pertama tinggal di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya antara kaum Muhajirin dengan Muhajirin. Tujuannya adalah menghibur rasa kesepian dari perpisahan dengan keluarga dan kerabat.
Mempersaudarakan antara kaum ini juga dilakukan beliau dengan tujuan mempererat persatuan, dan menghilangkan kemungkinan timbulnya permusuhan lama. Sebab, bukan tidak mungkin ada musuh yang menyusup dan membuat fitnah di antara sesama kaum Muhajirin dengan Anshar.
Untuk itu, Rasulullah mempersaudarakan Abu Bakar as-Shiddiq dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin Khattab dengan Itban bin Malik, Hamzah dengan Zaid (bekas budak Hamzah), dan Nabi sendiri dengan Ali bin Abi Thalib. Atas persaudaraan ini, Ali mengangkat tangan, “Hadza akhi fi dunya wal-akhirah.” Yang artinya: “Ini saudaraku, di dunia dan akhirat.” Lalu kemudian, tak sedikit kaum Muhajirin yang kemudian berdatangan dari Makkah. Mereka kemudian dipersaudarakan dengan kaum Anshar penduduk asli Madinah.