Selasa 25 Feb 2020 15:38 WIB

Kesalahan dalam Shalat: Memilih Imam Berdasar Senioritas

Seorang yang akan menjadi imam tidak boleh dipilih sembarangan.

Kesalahan dalam Shalat: Memilih Imam Berdasar Senioritas. Foto ilustrasi.
Foto: Hery Purnama
Kesalahan dalam Shalat: Memilih Imam Berdasar Senioritas. Foto ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah yang timbul di tengah masyarakat dan kurang mendapat perhatian adalah selalu mendahulukan orang yang lebih tua sebagai imam shalat. Umur tua menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi sebagian masyarakat dalam menentukan seorang imam shalat.

Mereka tidak memperhatikan kapasitas keagamaan seseorang atau kemahirannya dalam membaca Alquran. Padahal jika merujuk kepada sunnah Rasulullah tidak demikian. Pertimbangan semacam ini jelas tidak sesuai dengan arahan agama.

Baca Juga

Dalam memilih imam shalat, diutamakan mereka yang lebih pandai membaca Alquran, kemudian yang lebih memahami hukum-hukum Allah, kemudian baru yang lebih bertakwa dan yang lebih tua usianya. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah, "Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca Alquran. Jika dalam kepandaian membaca mereka sama, maka dipilih yang lebih memahami sunnah atau hukum-hukum Islam. Jika dalam pemahaman sunnah mereka sama, maka dipilih yang lebih dahulu melakukan hijrah. Jika dalam berhijrah mereka sama, maka dipilih yang lebih tua usianya." (HR Muslim).

Selain itu, terdapat beberapa pertimbangan yang menjadikan seseorang didahulukan untuk menjadi imam, meski ada orang yang lebih baik darinya. Budiman Mustofa dalam bukunya Kesalahan yang Sering Terjadi dalam Shalat mengatakan pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut.

  • Jika ia adalah imam masjid yang resmi yang layak untuk menjadi imam. Dalam hal ini tidak seorang pun boleh menempati posisinya sebagai imam maupun lebih baik darinya, kecuali jika ada izin darinya.
  • Jika ia adalah tuan rumah yang layak menjadi imam. Tidak ada seorang pun yang boleh menempati posisinya sebagai imam, kecuali ada izin darinya.
  • Penguasa, yaitu pemimpin tertinggi atau wakilnya, jika layak menjadi imam. Tidak ada seorang pun yang boleh mengambil posisinya, kecuali dengan izinnya

Pertimbangan-pertimbangan tersebut berdasarkan hadits Nabi dalam Shahih Muslim yang artinya: "Janganlah sekali-kali seseorang menjadi imam bagi orang lain di rumah dan di dalam kekuasaan orang lain tersebut kecuali dengan izinnya." (HR Muslim).

Dengan aturan semacam ini, maka seorang yang akan menjadi imam tidak boleh dipilih sembarangan atau sesuai dengan persepsi masyarakat. Aturan menjadi seorang imam harus dikembalikan sesuai dengan aturan agama.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement