Kekerasan terhadap umat Islam adalah tragedi kemanusiaan yang terabaikan media dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arba’iyah Satriani, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung
Menyaksikan informasi tentang kekerasan terhadap Muslim India akhir-akhir ini, kemudian sebelumnya Muslim di Uyghur Cina juga mengalami hal senada lalu pembantaian dan pengusiran terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, muncul sebuah pertanyaan, ada apa dengan Muslim dan Islam saat ini? Mengapa para Muslim di ketiga negara tersebut mengalami hal yang sangat buruk dan bahkan melampaui batas kemanusiaan serta melanggar HAM?
Di sisi lain, sebagian besar media massa tak cukup nyaring menyuarakan hal tersebut. Bukannya kabar itu tidak ada di media arus utama tetapi suaranya lemah. Media sosial juga tak begitu gempita memviralkan kejadian tersebut. Sebagian malah menginformasikan tak semua orang di sana jahat, tetap ada yang baik dan membantu. Meskipun informasi itu baik tetapi tak cukup membantu.
Kita semua tahu bahwa selalu ada pihak yang baik dan sebaliknya dalam kondisi apa pun. Memang kabar baik itu bisa menjadi angin segar tetapi kita perlu langkah yang lebih besar dan masif daripada itu untuk membantu saudara Muslim yang teraniaya.
Kekerasan dan kekejian yang dialami Muslim di (setidaknya) tiga negara itu adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang ‘terabaikan’ oleh sebagian kalangan dan media. Meskipun kasus dan penyebabnya berbeda, tetapi kesamaan dari ketiganya adalah mereka semua merupakan minoritas di negaranya. Dalam banyak situasi, minoritas seringkali menjadi pihak yang diabaikan bahkan dilupakan hak-haknya.
Pertanyaannya adalah tidak adakah suatu cara untuk menghentikan kekerasan dan kekejian tersebut? Apa penyebab utama sehingga minoritas Muslim begitu tak disukai? Mengapa Muslim sedemikian ditakuti sehingga ada kesan seperti ingin “melenyapkan” mereka? Kemudian, apakah tidak ada Muslim -perorangan atau komunitas- dengan kekuasaan yang besar dan kuat yang dapat membela para minoritas ini sehingga aksi-aksi yang melanggar HAM tersebut dapat dihentikan?
Mengutip pernyataan Horn McLamb B dalam artikel yang berjudul “Is the Fear of Islam Rational?” yang dimuat di Journal of Political Sciences & Public Affairs (2016), ketakutan pada Islam (dan Muslim) adalah tidak rasional. Ia yang melakukan penelitian di Amerika Serikat mengatakan bahwa ketakutan pada Islam dilandasi oleh kesalahan persepsi mengenai agama ini dan kurangnya pengetahuan mengenai agama ini menyebabkan ketakutan itu menyebar.
Menurut McLamb dalam artikel tersebut, media di Amerika tidak membantu untuk menghilangkan atau meredakan Islamophobia. Karena justru setiap kali menyalakan televisi, yang diinformasikan adalah sesuatu yang buruk tentang Islam. “Dan jika seseorang hanya melihat yang buruk maka mereka lebih cenderung berpikir semuanya buruk dan bahwa tidak ada sesuatu yang baik di dunia atau dalam Islam,” ujarnya.
Karena kiblat media salah satunya adalah Amerika maka Islamophobia pun menyebar ke berbagai negara melalui media masing-masing. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan saat ini bahwa era digital telah mempercepat dan memperluas penyebaran informasi apapun menjadi sangat masif.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arba’iyah Satriani, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung
Menyaksikan informasi tentang kekerasan terhadap Muslim India akhir-akhir ini, kemudian sebelumnya Muslim di Uyghur Cina juga mengalami hal senada lalu pembantaian dan pengusiran terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, muncul sebuah pertanyaan, ada apa dengan Muslim dan Islam saat ini? Mengapa para Muslim di ketiga negara tersebut mengalami hal yang sangat buruk dan bahkan melampaui batas kemanusiaan serta melanggar HAM?
Di sisi lain, sebagian besar media massa tak cukup nyaring menyuarakan hal tersebut. Bukannya kabar itu tidak ada di media arus utama tetapi suaranya lemah. Media sosial juga tak begitu gempita memviralkan kejadian tersebut. Sebagian malah menginformasikan tak semua orang di sana jahat, tetap ada yang baik dan membantu. Meskipun informasi itu baik tetapi tak cukup membantu.
Kita semua tahu bahwa selalu ada pihak yang baik dan sebaliknya dalam kondisi apa pun. Memang kabar baik itu bisa menjadi angin segar tetapi kita perlu langkah yang lebih besar dan masif daripada itu untuk membantu saudara Muslim yang teraniaya.
Kekerasan dan kekejian yang dialami Muslim di (setidaknya) tiga negara itu adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang ‘terabaikan’ oleh sebagian kalangan dan media. Meskipun kasus dan penyebabnya berbeda, tetapi kesamaan dari ketiganya adalah mereka semua merupakan minoritas di negaranya. Dalam banyak situasi, minoritas seringkali menjadi pihak yang diabaikan bahkan dilupakan hak-haknya.
Pertanyaannya adalah tidak adakah suatu cara untuk menghentikan kekerasan dan kekejian tersebut? Apa penyebab utama sehingga minoritas Muslim begitu tak disukai? Mengapa Muslim sedemikian ditakuti sehingga ada kesan seperti ingin “melenyapkan” mereka? Kemudian, apakah tidak ada Muslim -perorangan atau komunitas- dengan kekuasaan yang besar dan kuat yang dapat membela para minoritas ini sehingga aksi-aksi yang melanggar HAM tersebut dapat dihentikan?
Mengutip pernyataan Horn McLamb B dalam artikel yang berjudul “Is the Fear of Islam Rational?” yang dimuat di Journal of Political Sciences & Public Affairs (2016), ketakutan pada Islam (dan Muslim) adalah tidak rasional. Ia yang melakukan penelitian di Amerika Serikat mengatakan bahwa ketakutan pada Islam dilandasi oleh kesalahan persepsi mengenai agama ini dan kurangnya pengetahuan mengenai agama ini menyebabkan ketakutan itu menyebar.
Menurut McLamb dalam artikel tersebut, media di Amerika tidak membantu untuk menghilangkan atau meredakan Islamophobia. Karena justru setiap kali menyalakan televisi, yang diinformasikan adalah sesuatu yang buruk tentang Islam. “Dan jika seseorang hanya melihat yang buruk maka mereka lebih cenderung berpikir semuanya buruk dan bahwa tidak ada sesuatu yang baik di dunia atau dalam Islam,” ujarnya.
Karena kiblat media salah satunya adalah Amerika maka Islamophobia pun menyebar ke berbagai negara melalui media masing-masing. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan saat ini bahwa era digital telah mempercepat dan memperluas penyebaran informasi apapun menjadi sangat masif.