Selasa 17 Mar 2020 01:28 WIB

Buruh Jabar: Omnibus Law Lebih Jahat dari Corona

Isinya memiskinkan buruh dan rakyat atas nama UU.

Rep: Arie Lukihardianti / Red: Agus Yulianto
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung.
Foto: Abdan Syakura
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Di tengah kepanikan wabah corona, serta dalam suasana sekolah diliburkan se Jabar dan larangan berkumpul dikerumunan, ribuan buruh yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Jabar justru menggelar aksi unjuk rasa, Senin (16/3). Mereka, memulai aksinya sekitar pukul 12.00 WIB di Halaman Gedung Sate dengan membentangkan berbagai spanduk dan berorasi.

Sebelum berorasi, ribuan massa tersebut memulai aksinya dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian, buruh pun berorasi secara bergiliran.

"Memang, betul ada surat edaran dari pemerintah daerah untuk larangan berkumpul karena wabah virus corona kawan-kawan. Tapi, hari ini kita memaksakan tetap menggelar aksi untuk menolak omnibuslaw RUU Cipta Kerja karena ini lebih jahat dari virus corona," ujar Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Jabar Roy Jinto Ferianto saat berorasi di depan ribuan buruh.

Roy menjelaskan, pemerintah telah secara resmi memasukkan draft Omnibus law RUU Cipta Kerja kepada DPR RI pada 12 Februari 2020. Proses pembuatan draft omnibus Law tersebut tidak pernah melibatkan unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Hal tersebut, kata dia, dapat dilihat dari Satgas Omnibus Law yang dibentuk oleh Pemerintah di Ketuai oleh Ketua Umum Kadim yang anggota Satgas tersebut didominasi oleh Organisasi Pengusaha dan tidak ada dari Serikat Pekerja. Bahkan, pembahasan draft RUU ini secara sembunyi-sembunyi dan tertutup sehingga tidak dapat diakses publik dengan dalih investasi.

"Dari proses pembuatan 'RUU CILAKA' ini sudah bermasalah, melanggar aturan pembentukan peraturan perundang-undangan, 'RUU CILAKA' ini bukan untuk menyejaterahkan buruh akan tetapi akan memiskinkan kaum buruh secara sistimatis dengan mendegradasi hak-hak buruh untuk kepentingan para kapiltas," paparnya.

Selain itu, kata dia, Omnibus Law tersebut menyerahkan persoalan hubungan industrial hak dan kewajiban buruh dan pengusaha kepada mekanisme pasar (liberal). Serta,  menghilangkan tanggung jawab negara kepada rakyatnya dalam memberikan perlindungan, penghidupan yang layak, dan penghasilan yang layak. 

Bahkan, kata dia, 'RUU CILAKA' ini juga memberikan setralisasi kekuasaan kepada Pemerintah Pusat yang pada akhirnya menghapus kewenangan otonomi daerah yang merupakan salah satu tujuan reformasi. "Pada intinya 'RUU CILAKA' ini dibuat untuk kepentingan Kaum Pemodal/Investasi bukan untuk kepentingan rakyat dan kaum buruh," katanya.

Roy mengatalan, RUU Omnibus law Cilaka ini sebenarnya adalah Revisi UU No 13 Tahun 2003 yang dibungkus dengan cover cipta kerja. Agar buruh dan rakyat terkecoh dan terkelabui dengan judulnya. Padahal, isinya memiskinkan buruh dan rakyat atas nama UU dengan hilangnya kepastian pekerjaan, kepastian penghasilan dan kepastian jaminan sosial.

"Oleh karena itu, sudah seharusnya Kaum Buruh, Elemen Mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya menyatakan menolak RUU Cilaka ini secara bersama-sama," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement