REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY menyampaikan penurunan okupansi akibat pandemik Corona. Salah satu yang mereka keluhkan belum adanya kejelasan tentang keringanan pajak.
Ketua BPD PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono mengatakan, sampai saat ini, belum ada pihak-pihak yang memberikan penjelasan teknis terkait keringanan pajak. Baik dari pemerintah provinsi, pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten.
"Mendesak pemerintah daerah memberikan insentif berupa keringanan pajak hotel dan restoran selama enam bulan ke depan," kata Deddy, Selasa (17/3).
Dia mengungkapkan, sampai 17 Maret 2020 sudah ada penurunan okupansi hampir 20 persen. Jika dilihat dari penurunan yang mulai terjadi 14 Maret 2020 sekitar 15 persen, tampak jelas ada penurunan signifikan setiap hari.
Deddy menyarankan, segera diterapkan relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk membantu likuiditasi pekerja. Lalu, relaksasi PPh Pasal 25 untuk memberikan ruang likuiditas usaha pariwisata, terutama hotel dan restoran.
Kemudian, dia memberikan masukan agar hotel-hotel dan restoran-restoran dapat diberi penangguhan atau cuti dalam melakukan pembayaran kewajiban perbankan. Serta, diberi pembebasan pembayaran BPJS Kesehatan dan BPJK Ketenagakerjaan.
"Untuk membantu likuiditasi pekerja dan perusahaan," ujar Deddy.
Senada, Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Chapter Yogyakarta, Herryadi Baiin membenarkan, penurunan okupansi mulai terjadi sejak 14 Maret 2020. Sebagian besar disebabkan pembatalan pemesanan kamar.
Dia mengungkapkan, sampai hari ini sudah ada kehilangan sekitar 36.694 kamar. Baiin menuturkan, data-data yang mereka dapatkan sejak Februari-Maret 2020 penurunan okupansi yang dialami hotel-hotel Yogyakarta sudah 18,17 persen. "Kerugian sekitar Rp 33,6 miliar," kata Baiin.