REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, disebutkan ada tiga orang sahabat yang berasal dari kalangan non-Arab. Mereka adalah Suhaib Ar Rumi, Bilal bin Rabah, dan Salman Al Farisi.
Tentang ketiga sahabat ini, Nabi SAW pernah mengatakan, ''Aku adalah sabiq (orang yang paling dahulu masuk Islam dari) bangsa Arab, Shuhaib adalah sabiq bangsa Romawi, Salman adalah sabiq bangsa Persia, dan Bilal adalah sabiq bangsa Habasyah.''
Republika.co.id pada kesempatan ini menurunkan kisah tentang Suhaib Ar Rumi.
Sekitar 20 tahun sebelum Muhammad bin Abdullah mendapatkan wahyu, sekitar abad pertengahan keenam Masehi, seorang Arab bernama Sinan bin Malik memerintah kota al Buallah atas nama Kaisar Persia Khosrow II. Kota ini sekarang menjadi bagian dari Basrah, terletak di tepi Sungai Efrat.
Sinan tinggal di sebuah istana mewah di tepian sungai. Dia memiliki beberapa anak dan anak yang paling disayanginya berusia lima tahun. Dia adalah Suhaib. Berambut pirang dan berkulit gelap.
Dia dikenal aktif dan selalu menyenangkan ayahnya. Satu hari ibu Suhaib membawanya dan anggota keluarga lainnya piknik di sebuah desa bernama ath -Thani. Namun hari yang semestinya dilalui dengan santai dan menyenangkan menjadi pengalaman mengerikan yang mengubah jalan hidup Suhaib muda selamanya.
Hari itu, Desa Ath-Thani diserang, oleh seorang tentara Bizantium dan merampok desa tersebut. Para penjaga yang menyertai pesta piknik itu tak mampu melawannya dan terbunuh. Barang-barang mereka disita dan mereka yang hidup dipenjara, di antaranya adalah Suhaib bin Sinan.
Suhaib dibawa ke salah satu pasar budak Kekaisaran Bizantium, ibu kota Konstantinopel untuk dijual. Setelah itu ia berpindah dari tangan majikan ke yang lain. Nasibnya tidak berbeda dengan ribuan budak lainnya yang memenuhi rumah, istana dan kastil penguasa Bizantium dan bangsawan.
Suhaib menghabiskan masa kecilnya dan masa mudanya sebagai budak. Selama sekitar dua puluh tahun dia tinggal di tanah Bizantium.
Ini memberinya kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman langka tentang Bizantium dan masyarakatnya. Dari istana, dia melihat sendiri adanya ketidakadilan dan korupsi di Bizantium. Dia membenci masyarakat itu dan kemudian akan berkata kepada dirinya sendiri:
"Masyarakat seperti ini hanya bisa dimurnikan dengan banjir besar."
Suhaib tentu saja tumbuh dengan bahasa Yunani, bahasa Kekaisaran Bizantium. Dia praktis melupakan bahasa Arab. Tapi dia tidak pernah lupa bahwa dia adalah anak gurun. Dia merindukan hari ketika dia bebas bersama dengan masyarakat di daerahnya.
Suhaib mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari perbudakan dan langsung menuju Makkah yang merupakan tempat berlindung untuk mencari suaka.
Di sana orang memanggilnya Suhaib "ar-Rumi" atau " orang Bizantium" karena ucapannya yang sangat berat dan rambutnya yang pirang. Dia menjadi halif salah satu aristokrat Makkah, Abdullah bin Judan. Dia terlibat dalam perdagangan. Bahkan, dia menjadi kaya raya.