REPUBLIKA.CO.ID, Jarang orang bilang “modal terbesar bangsa Indonesia adalah teknologi, disiplin, atau kepemimpinan”. Justru, yang sering terdengar adalah “kita mengalami krisis keteladanan”. Lalu, apa modal terbesar bangsa Indonesia? Jawaban yang sering disampaikan adalah manusia Indonesia, bonus demografi, keberagaman, gotong royong, Pancasila, dan lain-lain.
Namun, saat corona melanda, orang-orang gontok-gontokan membela tokoh idola lebih dominan daripada gotong royong untuk kepentingan nasional. Hingga ada kabar seorang ibu menyumbang Rp 40 miliar untuk penanganan corona. Namanya Nurhayati Subakat, lahir 27 Juli 1950 di Padang Panjang, Sumatra Barat.
Saya awalnya ragu jika ia lulusan Pesantren Diniyyah Putri yang berdiri sejak 1923 itu. Saya periksa situs diniyyahputeri.org. Rupanya Nurhayati adalah santriwati alumnus tahun 1973 dan sekarang diamanahi sebagai Ketua Ikatan Keluarga Diniyyah Puteri pusat. Saya yang dua kali “pesantren kayu” ini mengantarkan adik kandung saya nyantri di sana.
Lokasinya di Padang Panjang. Kota ini kota kelahiran Sutan Syahrir--perdana menteri pertama Indonesia--dan dan AA Navis--sastrawan besar yang menulis cerpen terkenal “Robohnya Surau Kami” (terbit tahun 1955).
Cerpen itu menyindir mereka yang setiap hari hanya shalat, zikir, dan berdoa, tetapi tidak berusaha, tidak mengeluarkan keringat, tidak merawat alam, dan tidak membantu orang lainnya, hingga akhirnya mereka masuk neraka. Baiklah, berikut lima inspirasi dari Nurhayati Subakat, pendiri Wardah, perusahaan kosmetik nomor 1 di Indonesia.
Pertama, mengakui ide orang lain. Usaha kosmetik adalah ide Nurhayati Subakat. Namun, nama wardah bukan idenya.
“Ada beberapa orang pesantren datang ke saya. Mereka mengusulkan tiga nama, lalu kita daftarkan ke kantor merek dan yang diterima adalah wardah. Nama Wardah bukan ide saya,” kata Nurhayati dalam wawancara dengan Kumparan, Republika, CNBC Indonesia, IDNtimes, dll. Hal ini cukup langka saat orang sering bilang “ini ide saya, saya, dan saya”.
Kedua, mengakui kontribusi orang lain. Saat pertama bikin sampo, Nurhayati menawarkan ke banyak salon di Tangerang, tetapi ditolak. Nurhayati menceritakan bahwa ada tetangga saya yang bekerja di salon menawarkan memasarkan sampo. Ternyata, ia sukses memasarkan sampo itu.
Pengusaha salon itu paham mana sampo yang berkualitas. Nurhayati dengan jujur mengatakan, "Saya tidak mengerti pemasaran."
Dikutip dari wawancaranya dengan Tempo, Nurhayati yang juga alumnus ITB ini mengatakan, “Saya selalu dapat inspirasi dari orang lain. Saya perbanyak mengunjungi orang lain atau silaturahim."
Ketiga, memegang teguh nasihat ibu. Saat ditanya wartawan Kumparan, apa yang harus dipersiapkan ketika menghadapi tantangan, Nurhayati menjawab, “Ibu saya sering sekali menyampaikan, kita harus yakin setiap ada kesusahan pasti ada kemudahan.”
Jawabannya konsisten soal tip menghadapi kesusahan, yaitu yakin setelahnya ada kemudahan. Iya yakin dan yakin betul walaupun pabriknya pernah habis terbakar.
Keempat, motivasi bisnisnya bukan untuk kaya melainkan membantu orang lain. Nurhayati mengatakan, "Fisik saya terbatas, apalagi kemampuan saya. Saya tidak mengerti pemasaran. Banyak sekali kekurangan saya. Namun, saya ingin sekali membantu orang sebanyak-banyaknya. Saya bekerja keras dan berdoa bukan untuk kaya, tapi bisa meringankan beban banyak orang."
Kelima, ketuhanan. Saat ditanya, nilai apa saja yang dipegang ketika memimpin perusahaan, Nurhayati menyebut enam hal; yakni ketuhanan, keteladanan, tanggung jawab, kekeluargaan, fokus pada pelanggan, dan inovasi. Nurhayati juga menciptakan rumus 5P, yaitu great product, great price, good promotion, good place, dan pertolongan dari Allah.
PENGIRIM: Hariqo, pengamat media sosial dari Komunikonten, penulis buku seni mengelola tim media sosial; 200 tips ampuh meningkatkan performa organisasi di internet dengan anggaran terbatas.