Sabtu 28 Mar 2020 02:00 WIB

Jika Istri Mengajukan Cerai Terlebih Dulu

Gugatan cerai memiliki dua istilah yakni fasakh dan khulu.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Jika Istri Mengajukan Cerai Terlebih Dulu. Foto: Ilustrasi Sidang Perceraian
Foto: Foto : MgRol112
Jika Istri Mengajukan Cerai Terlebih Dulu. Foto: Ilustrasi Sidang Perceraian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah hubungan rumah tangga diimpikan setiap orang untuk berjalan dengan baik dan tanpa halangan apapun. Namun dalam kenyataannya, pertengkaran dan perselisihan antara pasangan suami istri pasti ada dan menjadi bumbu tersendiri.

Masalah dalam hubungan keluarga ini jika bisa diselesikan dengan baik akan membawa kedekatan bagi masing-masing, namun sebaliknya, jika tidak diselesaikan akan membawa perpecahan yang berujung pisah.

Baca Juga

Perceraian dalam beberapa kasus tidak hanya diajukan oleh pihak suami, namun bisa juga dari sisi istri. Secara hukum negara, dua-duanya sah dan diizinkan, sementara dalam Islam ada rambu-rambu yang harus diperhatikan apalagi jika diajukan oleh istri.

Dalam islam, gugatan cerai memiliki dua istilah yakni fasakh dan khulu. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah antara suami istri dan istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suaminya. Sementara khulu adalah gugatan cerai istri dimana ia mengemblikan sejumlah harta atau maharnya kepada sang suami.

Disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 229, "Maka apabila kalian khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan aturan-aturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa mengambil bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya (dan mengenai pengambilan suami akan bayaran itu)."

Oleh Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-SyAfi’i dijelaskan, "Khulu ialah talak yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari pihak istri, hal semacam itu disyariatkan dengan jalan khulu, yakni pihak istri menyanggupi membayar seharga kesepakatan antara dirinya dengan suami, dengan (standar) mengikuti mahar yang telah diberikan."

Seorang wanita atau istri boleh saja menggugat cerai suaminya asalkan dengan syarat dan alasan yang jelas. Dalam sebuah hadits diriwayatkan seorang wanita yang takut berbuat kufur karena ia tidak menyukai suaminya meski suaminya memiliki perangai yang baik, diperbolehkan untuk menggugat cerai.

Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya istri Tsabit bin Qais mendatangi Nabi SAW dan berkata: "Wahai, Rasulullah. Aku tidak mencela Tsabit bin Qais pada akhlak dan agamanya, namun aku takut berbuat kufur dalam Islam," maka Nabi bersabda, "Apakah engkau mau mengembalikan kepadanya kebunnya?" Ia menjawab, "Ya, Rasulullah,” lalu Nabi pun bersabda: "Ambillah kebunnya, dan ceraikanlah ia".

Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam bukunya al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i menyebutkan, "Apabila seorang perempuan benci terhadap suaminya karena penampilannya yang jelek, atau perlakuannya yang kurang baik, sementara ia takut tidak akan bisa memenuhi hak-hak suaminya, maka boleh baginya untuk mengajukan khulu dengan membayar ganti rugi atau tebusan."

Sementara bagi istri yang menggugat cerai suaminya tanpa alasan maka haram baginya bau surga. Hal ini disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW berikut, "Siapa saja wanita yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut."

Selain alasan takut berbuat kufur seperti disebutkan di atas, ada beberapa alasan lain seorang istri diperbolehkan mengajukan khulu atau gugatan cerai. Salah satunya adalah suami melakukan penganiayaan. Penganiayaan ini bisa berupa bisa berupa fisik (pukulan) maupun verbal seperti mencaci dan memaki yang membuat istri menderita.

Alasan lainnya adalah suami tidak menjalankan kewajiban agama. Seorang suami yang tidak pernah menjalankan kewajibannya pada sang istri misalnya  berbuat buruk pada istri, tidak menjalankan perintah agama, berzina, dan selingkuh, maka wajar jika sang istri mengajukan gugatan cerai.

Jika seorang suami tidak memenuhi tugasnya dalam memberikan nafkah sementara ia mampu untuk itu, seorang istri berhak mengajukan gugat cerai. Nafkah bisa berupa materi maupun kebutuhan biologis istri.

Seorang suami yang hilang dan tidak ada kabarnya setelah sekian lama meninggalkan istrinya misalnya untuk mencari nafkah, maka sang istri boleh mengajukan gugatan cerai. Hal ini disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Umar ra.

"Bahwasanya telah datang seorang wanita kepadanya yang kehilangan kabar tentang keberadaan suaminya. Lantas Umar berkata, "Tunggulah selama empat tahun." dan wanita tersebut melakukannya. Kemudian datang lagi (setelah empat tahun). Umar berkata, "Tunggulah (masa idah) selama empat bulan sepuluh hari." Kemudian wanita tersebut melakukannya. Dan saat datang kembali, Umar berkata, "Siapakah wali dari lelaki (suami) perempuan ini?", kemudian mereka mendatangkan wali tersebut dan Umar berkata, "ceraikanlah dia", lalu diceraikannya. Lantas Umar berkata kepada wanita tersebut, "Menikahlah (lagi) dengan laki-laki yang kamu kehendaki."

Sementara itu, beberapa syarat khulu adalah berstatus cakap hukum, seorang akil baligh. Kemudian, ganti rugi khulu yakni sesuatu yang bisa dijadikan mahar dalam pernikahan. Menurut jumhur ulama, ganti rugi khuluk itu bisa benda apa saja yang dapat dimiliki, baik sifatnya materi maupun manfaat atau piutang. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement