REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eko Widiyatno*)
Ketika kasus kematian pertama akibat virus baru Corona dilaporkan Pemerintah Cina pada 11 Januari 2020, mestinya hal ini menjadi warning bagi dunia. Namun saat itu, dunia sepertinya masih meraba-raba sifat, karakter dan pengaruh epidemologi penyakit akibat virus baru ini.
Namun ketika pemerintah Cina melakukan lockdown Provinsi Wuhan pada 23 Januari 2020, mestinya hal ini sudah menjadi warning serius seluruh dunia. Pada tahap ini virus sudah mulai dikenali bagaimana sifat penularannya, bagaimana tingkat kematiannya, dan bagaimana pengaruh epidemologinya.
Namun pada saat itu, hanya beberapa negara terdekat dengan Cina yang cukup sigap mengambil langkah. Kebanyakan negara-negara lain, masih berkaca pada kasus SARS (flu burung) dan MERS (flu babi) beberapa tahun sebelumnya, yang tidak akan meluas menjadi pandemi global.
Termasuk Indonesia. Sepertinya awalnya kita tidak melihat penyakit ini sebagai masalah serius. Bahkan pemerintah cenderung bersikap over confidence dengan mengeluarkan pernyataan yang meremehkan penyakit ini. Iklim tropis sepertinya menjadi keyakinan kita, bahwa virus baru yang kemudian dikenal sebagai SARS CoV-2, tidak akan menyebar di Tanah Air.
Bahkan pemerintahan mengambil kebijakan 'berani', berupa pemberian stimulus pada sektor pariwisata. Gerbang wisata dibuka lebar dengan pemberian diskon untuk penerbangan. Pemerintah seperti menantang,''Hai virus, silakan datang ke Indonesia. Kamu akan modar tersengat matahari iklim tropis kami.''
Peringatan kemungkinannya COVID-19 berpotensi sebagai pandemi global dan bisa masuk ke Tanah Air, sebenarnya banyak diingatkan oleh tenaga medis dan pakar epidemologi di Tanah Air. Termasuk WHO juga memperingatkan pemerintah Indonesia, agar tidak meremehkan virus ini.
Namun nasi sudah menjadi bubur. Kesempatan emas pertama untuk mencegah COVID-19 masuk Indonesia, tidak dimanfaatkan pemerintah dengan baik. Meski pun sudah dilaporkan adanya pasien rumah sakit meninggal karena radang pernafasan akut (pnemonia), masih belum diikuti dengan langkah serius.
Pemerintah masih menganggap, pasien meninggal karena penyakit lain. Bukan disebabkan penyakit COVID-19. Alhasil, penerbangan dari luar negeri yang membawa masuk warga dari negara-negara terjangkit pun masih terbuka. Tidak dilakukan langkah konkret terhadap mereka, kecuali hanya sekadar melakukan scanner suhu tubuh.
Belakangan, tekanan akibat makin banyaknya warga yang terjangkit pnemonia, memaksa pemerintah melakukan test PCR. Itu pun masih dilakukan setengah hati, karena pemeriksaan hasil sampel swab pasien suspect masih dilakukan terpusat di laboratorioum Balitbang Kemenkes. Baru menjelang akhir Maret 2020, pemerintah melibatkan laboratorium lain untuk memeriksa sampel swab.
Pada masa awal mulai berjangkitnya VOVID-19 di Tanah Air, pemerintah sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan meluaskan penyakit. Pakar-pakar epidemologi dan dokter, banyak yang mendesak pemerintah untuk mulai melakukan pemetaan penyakit dan melakukan eliminasi. Salah satunya dengan melakukan lockdown atau karantina wilayah bagi daerah-daerah yang menjadi episentrum wabah, dan melakukan karantina skala kecil untuk wilayah di daerah yang belum terlalu mewabah.
Namun kesempatan kedua ini, juga tidak dilakukan. Pemerintah terkesan lebih takut pada kondisi ekonomi yang makin memburuk bila karantina wilayah dilakukan. Pemerintah hanya mengambil kebijakan berupa himbauan agar masyarakat melakukan social distancing/physical distancing atau mengenakan masker. Himbauan yang bisa saja tidak dipatuhi, karena hanya bersifat himbauan.
Saat ini, wabah COVID-19 sudah menyebar. Di Jawa-Bali, hampir semua daerah menyatakan ada PDP (Pasien Dalam Pengawasan). Masing-masing daerah ada ribuan. Sudah dilaporkan ratusan kasus PDP meninggal yang dimakamkan dengan menggunakan protap pasien COVID-19. Dalam kondisi seperti ini, lockdown atau karantina wilayah khususnya daerah-daerah di Jawa-Bali, sudah tidak lagi relevan lagi digaungkan. Virus SARS-CoV2, sudah terlanjut tersebar merata.
Bagi pemerintah daerah di luar Jawa, sebenarnya masih memiliki kesempatan mengeliminasi penyebaran penyakit mengingat belum terlalu banyak PDP di wilayahnya. Antara lain, dengan dengan menutup pintu masuk ke pulau mereka, dan melakukan karantina terbatas di wilayah-wilayah yang dipetakan telah terjadi kasus. Namun di Jawa-Bali, pilihannya hanya herd immunity.
Herd Immunity ini, sebenarnya bukan lagi sebuah pilihan. Melainkan sebuah kenyataan pahit yang mau tidak mau harus dihadapi, karena tidak ada lagi pilihan lain yang bisa diambil. Pemerintah pun demikian, setelah mengabaikan kesempatan menutup pintu masuk dan melakukan karantina wilayah, tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk melakukan pencegahan epidemi.
Herd Immunity, ibaratnya sebuah kepasrahan. Pada saat belum ada obat atau vaksin yang bisa menangkal penyakit ini, hidup dan mati hanya digantungkan pada kekebalan tubuh masing-masing warga negara.
Herd Immunity sejalan dengan teori Charles Darwin tentang Evolusi. Dalam teori evolusi tersebut diungkapkan soal seleksi alam, dimana mahluk yang bertahap hidup adalah mahluk yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam konteks kasus COVID-19, mahluk yang bertahap hidup adalah memiliki daya tahan tubuh atau sistem imun yang baik.
Pertanyaannya, seberapa banyak orang di Indonesia yang memiliki sistem imun baik? Beberapa ahli medis, kebanyakan pasien meninggal umumnya adalah pasien yang memiliki penyakit bawaan, seperti masalah pada jantung, TBC, hipertensi, gagal ginjal dan sebagainya. Berapa banyak warga yang memiliki penyakit bawaan?
Dalam konsep herd immunity ini, benteng terakhir penanganganan COVID-19 hanya ada pada aspek kuratif. Pada tenaga medis inilah penanganan COVID-19 digantungkan, dan pada tenaga medis tingkat kematian akibat COVID-19 ditentukan.
Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih pada mereka. Terutama dalam hal kelengkapan APD (Alat Pelindung Diri), penambahan jumlah SDM medis, dan obat-obatan untuk menangani simptom penyakit COVID-19. Tolong, jangan biarkan mereka justru ikut menjadi korban.
*) penulis adalah jurnalis Republika