REPUBLIKA.CO.ID, Jumlah kasus Covid-19 terus meningkat dari hari ke hari. Kasus yang semula hanya menjangkiti dua orang, kini dia telah menginfeksi 4.557 orang per 13 April 2020. Angka ini diprediksi akan meningkat dalam beberapa hari ke depan.
Berbicara tentang wabah, Indonesia sebenarnya bukan pertama kali mengalaminya. Jauh sebelum virus Corona atau Covid-19 tiba di Indonesia, masyarakat di masa kolonial Belanda telah terlebih dulu merasakannya. Dua wabah tersebut yakni pes dan influenza.
Sejarawan Syefri Lewis mengungkapkan, wabah pes sebenarnya pertama kali dilaporkan terjadi di Indonesia (dulu Hindia Belanda) pada 1905. Dua kuli dilaporkan terjangkit penyakit ini di Pelabuhan Bandar Deli, Sumatera Utara (Sumut).
"Masalahnya adalah pemerintah kolonial tidak peduli dengan urusan tersebut karena korban cuman dua orang, hanya kuli jadi dianggap angin lalu saja. Padahal ada beberapa saran bahwa ini bisa saja kejadian di Hindia Belanda," kata Syefri di kegiatan diskusi dalam jaringan (daring).
Enam tahun berselang, laporan wabah pes muncul kembali di Indonesia. Kali ini dilaporkan terjadi di Malang, Jawa Timur (Jatim). Wabah ini diprediksi tiba di Malang karena faktor beras impor dari Myanmar. "Negeri Seribu Pagoda" ini di masa itu tengah mengalami wabah pes.
Pemerintah Kolonial Belanda terpaksa mengimpor beras karena mengalami gagal panen beberapa kali. Ditambah lagi, masyarakat yang membutuhkan makanan setiap harinya. Oleh sebab itu, impor beras dari Myanmar pun menjadi solusi.
Beras Myanmar pertama kali masuk Indonesia sekitar akhir 1910. Beras ini masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya lalu dikirim ke Malang. "Masalahnya, antara Malang dan Wlingi terjadi banjir. Jalur terputus dan beras yang diangkut itu ada kutu tikusnya. Lalu tikus yang memiliki pes bisa menyebar ke masyarakat," jelas Tim Penulis Buku Pandemi Influenza di Hindia Belanda 1918 ini.
Temuan wabah pes di Malang tidak serta merta membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda percaya begitu saja. Mereka selalu membantah karena meyakini jenis tikus Myanmar berbeda dengan lokal. Pada kenyataannya, tikus Myanmar mampu beradaptasi dengan lokal sehingga pes pun bisa menyebar.
Lalu mengapa pes lebih dahulu menyebar di Malang dibandingkan Surabaya? Menurut Syefri, Malang di masa lampau memiliki suhu begitu dingin. Suhu udara di malam hari dapat mencapai 14 sampai 16 derajat celcius.
Suhu udara yang sangat dingin menyebabkan kutu-kutu tikus lebih kuat dan mudah menyebar. Ditambah lagi, tikus terinfeksi pada beras yang tersimpan di wilayah Dampit, Malang melakukan perjalanan ke pemukiman warga. Meski tikus mati dalam perjalanannya, kutu tetap hidup lalu mencari inang baru yang sehat.
"Dan tikus masuk yang ke rumah warga itu tikus rumahan. Dari sini, wabah pes menyebar di Malang dan menyebabkan banyak kematian," ucap Syefri.
Penyangkalan yang terus dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda telah menimbulkan masalah fatal. Pes baru diakui keberadaannya di Indonesia pada 27 Maret 1911. Padahal, kasus ini sudah mulai memasuki Malang pada akhir 1910.
Dari waktu yang begitu singkat, pemerintah Kolonial Belanda melaporkan 2.000 kasus pes. Jumlah ini agak diragukan karena media justru mengungkapkan pes telah memakan korban 300 orang per hari. "Jadi ini ada upaya pemerintah untuk mereduksi jumlah korban," ujarnya.
Pada 1913, laporan kasus pes melonjak menjadi 11 ribu korban. Kemudian bertambah sekitar 15 ribu orang di tahun berikutnya. Jumlah korban mengalami penurunan pada 1915 sekitar 1.638 orang.
"Kenapa akhirnya wabah pes bisa turun? Coba bayangkan wabah sudah empat tahun, di 1915 baru dibentuk dinas khusus yaitu dinas pemberantasan pes," ucapnya.
Direktur Burgelijke Geneeskundige Dienst (BGD), De Vogel, kata Syefri, sebenarnya sempat memerintahkan karantina Kota Malang sekitar 1911 hingga 1912. Namun kebijakan isolasi ini mendapatkan protes dari perusahan perkebunan di 1912.
"Mengapa protes? Karena kuli-kuli yang dari Malang enggak boleh keluar dari Malang. Banyak masyarakat yang tidak bisa kerja," jelasnya.
Pemerintah Kolonial Belanda memiliki aturan tegas dalam kebijakan isolasi diri. Mereka membangun pos-pos penjagaan ketat di setiap ujung kota. Para penjaga melalui tentara tidak segan menembak mati para penerobos pos penjagaan.
Selama isolasi, Syefri mengatakan, pemerintah sebenarnya telah menyediakan gaji untuk warga. Akan tetapi gaji tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, kebijakan isolasi diri tidak berjalan signifikan sehingga jumlah korban pes terus berjatuhan.
Selain itu, ketersediaan dokter juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah korban pes di Hindia Belanda. Saat itu, dokter Eropa takut karena teringat dengan peristiwa Black Death. "Sedangkan mengapa dokter Bumiputera berani? Karena mereka enggak punya ingatan wabah pes di Hindia Belanda," kata Syefri.
Secara ekonomi, dampak ekonomi wabah pes tidak terlalu besar dibandingkan influenza. Pasalnya, wabah Pes lebih berpusat di Malang. Sementara pandemi Influenza hampir terjadi di seluruh daerah termasuk area pelosok seperti Fak-Fak.
Pandemi Influenza Mulai Memasuki Hindia Belanda
Syefri menjelaskan, pandemi influenza mulai tiba di Hindia Belanda pada Juli 1918. Dalam waktu singkat, penyakit ini sudah bisa menyebar ke seantero Pulau Jawa. Selang setahun, influenza sudah mencapai wilayah bagian timur termasuk Fak-Fak (kini bagian Papua Barat).
Serupa dengan wabah pes, keberadaan influenza juga sempat dibantah oleh pemerintah. Mereka ragu influenza akan tiba di Hindia Belanda. Padahal di awal 1918, Konsultat Jenderal (konjen) Belanda di Hongkong dan Singapura sudah mengingatkan pandemi tersebut.
"Mereka (Pemerintah Kolonial Hindia Belanda--red) menilai influenza enggak mungkin masuk Indonesia tapi ternyata Juli masuk langsung banyak meninggal dunia," kata Syefri.
Setelah mengetahui keberadaan pandemi, pemerintah mulai membagikan masker pada November 1919. Hal ini penting dilakukan mengingat influenza telah menyebabkan 1,5 juta jiwa meninggal dunia.Namun berdasarkan data suatu lembaga di 2013, jumlah korban dapat mencapai 4,3 juta.
Lalu kenapa influenza bisa menyebar di seluruh Hindia Belanda? Syefri menerangkan, Dokter De Vogel sempat berencana mengkarantina Hindia Belanda.
Namun rencana tersebut diprotes oleh sejumlah pihak. Salah satunya lembaga pelayaran Hindia Belanda yang merasa dirugikan karena sering membawa penumpang dan barang. Padahal, kapal-kapal laut tersebut bisa membawa penyakit ke daerah pelosok.
BGD juga pernah mencoba membuat aturan agar tidak ada perkumpulan lebih dari lima orang. Akan tetapi, wacana tersebut dikritik karena dinilai dapat meresahkan masyarakat. Wacana tersebut pun dibatalkan sehingga influenza pun memakan korban 1,5 juta jiwa meninggal dunia.
Masalah kurangnya dokter juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah korban influenza. Perbandingannya, satu dokter setidaknya harus mengobati 15 ribu pasien. Lebih parahnya lagi, dokter Belanda hanya mau melayani pasien Eropa dan warga Bumiputera serta Cina yang kaya.
Di sisi lain, Syefri tak menampik, pemerintah telah melakukan sosialisasi bahaya pandemi influenza. Mereka menggunakan buku berbahasa Sansekerta, Hanacaraka dan Melayu di 1920. Namun sosialisasi ini tidak berdampak signifikan kepada masyarakat yang sebagian besar tidak bisa membaca.
Keberadaan penyakit di Hindia Belanda tidak didiamkan begitu saja oleh beberapa pihak. Ada beberapa yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk kepentingan diri sendiri. Mereka menggunakan wabah pes maupun pandemi influenza untuk memunculkan opini di masyarakat.
"Wabah-wabah ini banyak dipergunakan oleh masyarakat Indonesia di tahun pergerakan. Wabah digunakan sebagai cara untuk melawan pemerintah kolonial," ujarnya.
Berdasarkan sejarah tersebut, Syefri menilai, Indonesia saat ini sebenarnya sudah seharusnya belajar dari masa lalu. Sikap pemerintah Indonesia tak jauh berbeda dengan yang dilakukan Hindia Belanda. Mereka sama-sama lamban dalam mengatasi wabah termasuk Covid-19.
"Kalau kita lihat pemerintah kita dalam beberapa bulan terakhir bilang Covid-19 enggak bisa masuk ke Indonesia. Dan ternyata wabah itu ada. Saya jujur kecewa, cuman sekarang kita harus bisa menanggulangi bersama-sama," ucap pria lulusan Universitas Indonesia (UI).