REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terhitung kurang dari 10 hari, umat Muslim di seluruh dunia akan menyambut bulan suci Ramadhan. Namun, Ramadhan tahun ini akan terasa berbeda bagi umat Muslim, termasuk bagi Muslim di Palestina. Wabah virus corona yang melanda hampir semua negara membuat kehidupan berubah.
Sejumlah warga Palestina pun mengungkapkan kesedihan mereka akan kondisi saat ini di kala Ramadhan kian dekat. Bagi warga Palestina, bulan Ramadhan bukan hanya momen pengabdian dan puncak ibadah, tetapi juga waktu berkumpul dengan teman dan keluarga serta merayakan sejumlah tradisi.
Namun, karena wabah Covid-19, keadaan berubah, dan tradisi Ramadhan pun tidak akan ada. Menyambut Ramadhan, orang-orang Palestina biasanya mempersiapkannya dengan berbelanja ke pasar untuk mengisi kebutuhan Ramadhan.
Selain itu, jalanan biasanya tampak meriah dengan lampu-lampu yang menggantung dan hiasan lainnya. Namun, penerapan karantina dan pembatasan sosial yang dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona membuat jalan-jalan kosong dan sepi. Kegembiraan dan persiapan Ramadhan yang biasa dilakukan warga Palestina digantikan dengan suasana kesedihan.
Seorang Mufti dari kegubernuran Bethlehem, Sheikh Abed al-Majid Amarna (62 tahun), mengungkapkan perasaannya dan perasaan semua warga Palestina di tengah karantina saat ini. Ia mengatakan, mereka sangat sedih. "Jadi kita hanya harus menemukan cara baru untuk menyesuaikan diri menjalani Ramadhan di tengah wabah virus corona," kata Amarna dilansir Mondoweiss, Jumat (17/4).
Sejak wabah virus corona dimulai di kota Betlehem pada awal Maret lalu, puluhan masjid dan gereja ditutup di sekitar kota. Banyak tempat ibadah itu yang ditutup untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.
Padahal, di bulan Ramadhan masjid-masjid biasanya ramai dengan Muslim yang hendak melaksanakan shalat berjamaah, termasuk shalat tarawih. "Orang-orang merasa sangat sedih karena Ramadhan akan segera datang dan masjid-masjid masih ditutup," ujarnya.