Sabtu 18 Apr 2020 14:38 WIB

Robohnya Kampung Kami

Ia guru kami. Tak mungkin kami kuburkan tanpa kami lihat wajahnya terakhir kali.

Red: Karta Raharja Ucu
Pemakaman korban covid-19. (ilustrasi).
Foto: Antara/Jojon
Pemakaman korban covid-19. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny JA

Kiriman video itu mencekamku. Jenazah penderita virus corona dibawa pulang ke rumah duka. Namun oleh keluarga, para sahabat, para murid, plastik mayatnya  dibuka. (2)

Terdengar tangisan pilu. Terekam ungkapan yang hadir. “Ia guru kami. Tak mungkin kami kuburkan tanpa kami lihat wajahnya terakhir kali.” Suara yang lain: “Pak Ahmad (nama almarhum) pemimpin komunitas kami. Harus kami cium tangannya sebelum kami lepas ke tanah makam.”

Terdengar nyanyian Terasa suasana seperti ribuan anak ayam kehilangan induknya. Mereka pun beramai-ramai mengantarkan Pak Ahmad ke makam. Berebut mereka memanggul  kerangka jenazah.

“Terlalu banyak utang budi kami. Ia matahari kami.”

Video itu lebih mencekamkan karena ada Budi di sana. Budi adik kandungku. Sudah 20 tahun ia bergabung dengan komunitas spiritual itu. Ditinggalkannya pekerjaan. Ditinggalkannya keluarga. Katanya, Ia menemukan cahaya hidup bersama Pak Ahmad, Sang Guru.

Tapi kini Sang Guru Tiada. Wafat terkena Virus Corona.

Tak lama kemudian, terkabar berita. Satu kampung spiritual itu diisolasi. Dikhawatirkan virus corona menular, justru lewat jenazah sang Guru.

Tragis.

***

Daya tahan sebuah keyakinan. Daya tahan sebuah kesetiaan. Kesan itu mendalam kurasakan jika kurenungkan kisah Budi, Pak Ahmad dan Kampung spiritual tersebut.

Tahun 2006, mereka diusir paksa oleh penduduk. Rumah ibadah mereka dibakar. Rumah mereka dirusak (3). Banyak anggota komunitas itu dipukul. Satu diantaranya, tak tertolong dan wafat.

“Mereka murtad.” Ujar satu penyerang dengan ganas. “Penistaan agama.” Sambut lainnya. Nama Tuhan dipekikkan bersama mengiringi kekerasan dan pengusiran.

Puluhan penyerang membawa parang, pentungan, batu. Mereka melempari rumah sepuasnya. Mereka robohkan bangunan sesukanya.

Ini yang ketiga kali mereka menyerang. Namun untuk serangan ketiga, mereka mempunyai target. Kelompok spiritual itu harus pergi dari sana. “Ini wilayah kami. Kehadiran mereka hanya membawa petaka bagi semua keluarga kami.”

Pak polisi nampak tak berdaya. Para aparat negara itu memang menenangkan massa dan melerai. Namun aparat tidak menindak tegas para penyerang.

Kepada aparat, Pak Ahmad meyakinkan: “Tapi ini tanah kami, Pak. Turun temurun kami sudah di sini. Budi, adikku, saat kejadian sudah tinggal di sana."

Budi berkata, “Pak, bukankah konstitusi melindungi keyakinan warga negara?” Puluhan anggota spiritual lain juga memprotes.

Petugas tak menyangkal apa yang dinyatakan Pak Ahmad, Budi dan kelompoknya. Tapi petugas pun nampak tak berdaya. Mati angin.

Para tetua wilayah ini mengajak Pak Ahmad berbicara dari hati ke hati.

“Pak,” ujar tetua. “Serangan penduduk akan datang lagi dan lagi. Di sini banyak anak-anak. Kasihan mereka. Bagaimana jika kita kompromi?”

“Kompromi bagaimana?” Tanya Pak Ahmad. Tetua itu menyarankan satu kampung ini memeluk agama resmi yang diakui. Hanya dengan pindah keyakinan, masalah akan selesai.

Pak Ahmad,  Budi dan beberapa penganut spiritual yang ikut pertemuan, kaget alang kepalang. Mereka tak bisa menerima.

“Maaf pak tetua,” sanggah pak Ahmad dengan sopan. “Apakah anda sendiri bersedia pindah agama? Keyakinan adalah masalah hati. Kami memang sekarang minoritas. Tapi pak tetua juga jangan lupa. Pada awalnya, agama pak tetua dulu juga minoritas.”

Tegas pak Ahmad, “apa jadinya dengan agama pak tetua jika ketika masih minoritas diminta bubar dan pindah memeluk keyakinan mayoritas saat itu?”

“Keyakinan kami ini bukan baru, Pak. Ini warisan nenek moyang kami. Ia sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Dan selama ini tak ada masalah apa-apa.”

Dengan berlinang air mata, Pak Ahmad berkata, “JIka kami tak boleh hidup dengan keyakinan kami sendiri, padahal kami dilindungi konstitusi. Galilah tanah ini. Kuburlah kami hidup-hidup.” (4)

Budi dan anggota spritual lain menangis memeluk Pak Ahmad, Sang Guru. Betapa ia selalu berdiri tegak. Betapa Sang Guru selalu pasang badan.

Kompromi tak terjadi. Penyerang pulang sambil mengancam. Mereka akan datang lagi dengan jumlah yang lebih besar.

Akhirnya untuk keselamatan semua, terutama anak- anak, mereka menempuh jalan lain. Komunitas  spiritual ini diungsikan ke satu wilayah. Petugas menjanjikan ini hanya sementara saja.

Kini 13 tahun sudah mereka di wilayah pengungsian. Mereka tetap tak bisa kembali ke tanah asal. Petugas juga ingkar janji.

Tapi berkat leadersip pak Ahmad, kampung itu bisa hidup. Mereka bercocok tanam. Ada yang menjadi nelayan. Ada yang menjadi pedagang di wilayah lain.

Pak Ahmad sendiri sering ceramah ke aneka kota dan negara lain. Ia mempunyai ilmu yang luas. Hatinya penuh kasih. Dan yang penting selaku pemimpin komunitas, ia  kuat pendirian dan betanggung jawab.

Budi bercerita, Pak Ahmad baru pulang dari keliling. Ia ceramah di Malaysia, Cina dan Jakarta. Entah di wilayah mana, pak Ahmad tertular virus corona.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement