REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid yang indah ini berlokasi di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 5 kilometer (km) arah selatan dari pusat Kota Jepara.
Masjid ini terbilang kuno karena didirikan sejak era Kesultanan Demak. Secara keseluruhan, kompleks seluas kira-kira tujuh haktare (ha) itu terdiri atas masjid, permakaman, dan museum.
Dalam konteks sejarah Islam di Tanah Jawa, keberadaan Masjid Mantingan merupakan masjid kedua tertua setelah Masjid Agung Demak.
Pembangunannya rampung pada 1481 Saka atau 1559 Masehi. Tarikh itu terukir pada prasasti di mihrab Masjid Mantingan, yakni “Rupa Brahmana Warna Sari.”
Pembangunan
Kisah pembangunan Masjid Mantingan tak lepas dari sejarah Kerajaan Islam Demak pada masa kepemimpinan Sultan Trenggono.
Raja tersebut memiliki seorang anak gadis bernama Retno Kencono alias Ratu Kalinyamat. Perempuan tersebut kemudian menikah dengan R Toyib, seorang putra Sultgan Aceh yakni R Muhayat Syeh.
Toyib sendiri merupakan sosok yang gemar berkelana untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Pria kelahiran Aceh ini bahkan sempat merantau ke Tanah Suci dan Campa untuk menyebarkan Islam. Sesampainya di Jepara, barulah kemudian ia meminang Retno Kencono.
Kerajaan Demak menggelari Toyib sebagai Sultan Hadlirin. Selain itu, suami Ratu Kalinyamat itu juga dinobatkan sebagai adipati Jepara. Bagaimanapun, ia tak dapat menghindari geger politik di lingkungan istana.
Arya Penangsang akhirnya membunuh Raden Mukmin alias Sunan Prawoto, yakni putra sulung Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri wafat dalam suatu insiden saat hendak menyusun strategi pengepungan terhadap Panarukan.
Arya Penangsang hendak membalaskan dendam karena Sunan Prawoto telah membunuh ayahnya demi menaikkan Sultan Trenggono ke takhta Demak. Tidak cukup itu, ia juga membunuh Sultan Hadlirin usai menerima kabar kematian Sultan Trenggono.
Atas kematian suaminya itu, Ratu Kalinyamat amat berduka. Untuk mengatasi kesedihannya, perempuan tersebut membuatkan makam serta masjid di daerah Mantingan, Jepara.
Kompleks inilah yang akhirnya menjadi cikal-bakal Masjid Mantingan.
Ratu Kalinyamat mula-mula meminta nasihat dari ayah angkat suaminya, Chi Hui Gwan. Sosok bergelar Patih Sungging Badarduwung itu adalah gurunya Sultan Hadlirin saat sedang menuntut ilmu di Cina. Sang alim lantas merestui niat sang ratu untuk mendirikan masjid demi mengenang almarhum Sultan Hadlirin.
Tiga budaya
Tipologi budaya Jawa, Tiongkok, dan Hindu ditampilkan jelas dalam arsitektur Masjid Mantingan. Misalnya, bangunan serta gapura rumah ibadah tersebut yang berbentuk lengkungan. Selain itu, di dekat bangunan utama Masjid Mantingan terdapat petilasan candi meski kini tak utuh lagi.
Akulturasi budaya Hindu dan Cina juga tampak dari bentuk mustaka dan atap tumpang. Corak tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Majapahit. Begitu juga dengan relief yang terpampang pada dinding masjid ini. Sementara itu, pengaruh kebudayaan China terlihat dari adanya ornamen barongsai pada relief yang digayakan (stilisasi).
Bangunan utama Masjid Mantingan menampilkan relief-relief yang menempel pada dinding. Saat ini, terdapat 114 relief yang dipajang di sana. Adapun sisanya sudah tersimpan di galeri sederhana pada samping masjid ini. Adanya relief tersebut menunjukkan keunikan Masjid Mantingan bila dibandingkan dengan masjid-masjid kuno lainnya di Nusantara.
Relief biasanya dijumpai pada candi-candi Hindu. Bagaimanapun, relief pada Masjid Mantingan mematuhi kaidah Islam. Sebagai contoh, gambar-gambar makhluk bernyawa, seperti binatang, pada relief tersebut diukir dengan cara disamarkan. Inilah bukti kepiawaian para seniman istana pada zaman silam. Corak gambar lainnya mengikuti tradisi kaligrafi Islam, yakni geometris atau flora (sulur-suluran tumbuhan).