REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari*
Kabar tentang seorang ibu di Serang yang meninggal akibat dua hari tidak makan sungguh menyentak saya. Wanita bernama Yulie itu meninggal karena suaminya yang bekerja sebagai pemungut sampah di perumahan tidak sanggup memberi makan keluarganya.
Kabarnya selama dua hari mereka hanya minum air. Kehidupan sulit seperti Yulie dan keluarganya mungkin terjadi di banyak bagian di Tanah Air setelah pandemi corona terjadi selama lebih dari satu bulan di Indonesia.
Data pemerintah mencatat, sebanyak 1,9 juta orang telah kehilangan pekerjaannya akibat corona. Jumlahnya diperkirakan terus bertambah. Mereka yang kesulitan makan pun artinya akan menjadi lebih banyak lagi.
Pemerintah memang telah mengeluarkan bantuan sosial bagi masyarakat terdampak Covid-19. Bahkan Presiden Joko Widodo tegas meminta penyaluran dilakukan by name by address, alias dengan nama berdasarkan alamat. Cara ini menuntut kerja keras pemerintah daerah sampai level desa dan RT-RW untuk mendata warga yang benar-benar membutuhkan bantuan tersebut.
Jajaran di bawah Jokowi lalu ditegaskan untuk melakukan pengecekan berlapis. Untuk apa? Tentu demi memastikan bantuan sifatnya tepat sasaran.
Per pekan ini, bantuan sosial berupa paket sembako senilai Rp 600 ribu mulai disalurkan kepada 1,2 juta KK di DKI Jakarta. Secara bertahap, bansos juga akan menyentuh 576 ribu KK di kawasan penyangga ibu kota, yakni Bodetabek. Anggaran yang dialokasikan sebanyak Rp 3,2 triliun.
Masalahnya, cukupkah anggaran tersebut? Apakah seluruh masyarakat yang terdampak benar-benar bisa menerima bantuan sosial?
Kejujuran memang hal yang tidak mudah. Dibutuhkan hati nurani serta kebesaran jiwa untuk benar-benar mau membantu warga yang paling kesusahan.
Saya tinggal di kawasan Pamulang, Tangsel. Di rumah saya ada asisten rumah tangga yang pulang pergi setiap hari. Sebelum corona, anaknya masih bisa bekerja dan membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Suaminya masih bisa menarik angkot. Sekarang suami dan anaknya sudah dirumahkan. Mbak di rumah menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.
Kemarin dia mengeluh, bantuan sosial tidak akan pernah sampai kepadanya. Ia meyakini itu.
"RT saya selalu memprioritaskan keluarga-keluarganya dulu. Dari tiap Lebaran haji pun saya tidak pernah mendapatkan kupon. Semua jatuh dulu ke keluarga-keluarganya," katanya kepada saya.
Saya tegaskan, kalau bantuan sosial adalah hak semua warga yang terdampak. Termasuk dia, warga domisili yang sudah lebih dari lima tahun mengontrak rumah di sana.
"Paling kalau ada nanti dibilang sudah habis sama Pak RT," ujarnya lagi. Ia namun masih beruntung karena bantuan dari lembaga filantropi yang tidak melalui RT masih bisa dirasakannya.
Lain lagi cerita teman saya yang juga mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah DKI Jakarta sebagai dampak corona. Bantuan tersebut diperolehnya dari RT di rumahnya. Teman saya yang sampai saat ini masih bekerja dan berpendapatan lalu menyerahkan kembali bantuan itu. Ia merasa tidak berhak.
Pasti ada banyak cerita seperti itu. Bantuan yang tidak sampai. Atau bantuan yang justru salah sasaran.
Memastikan transparansi bantuan sosial memang sangat sulit. Hanya masyarakat di lingkungan itu yang bisa jelas mengetahui, mana warga yang tidak bisa makan dan perlu dibantu. Di sini hati nurani itu berbicara. Apakah Anda tega tidak membantu tetangga yang tidak bisa makan? Atau apakah Anda semalas itu melakukan verifikasi warga demi memastikan bantuan tepat sasaran.
Semakin lama Indonesia berada di pusaran di pandemi corona, maka semakin banyak orang yang perlu mengulurkan tangannya bagi sesama. Seorang teman saya secara swadaya menggalang bantuan bagi mereka yang terdampak corona. Ia menggandeng warung dekat rumahnya menyediakan sembako bagi penarik ojek daring yang lewat, sopir taksi, tukang becak, pengemis, tukang bakso, atau pedagang kaki lima lainnya.
Di media sosial saya melihat banyak sekali orang menggalang aksi serupa. Mulai dari lelang barang selebritas untuk corona, hingga membuka akun Kitabisa untuk mencari uang bagi APD tenaga medis hingga bantuan sembako untuk yang membutuhkan.
Langkah membantu warga yang terdampak corona memang tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah dan aparatnya sendirian. Berulang kali pemerintah pun mengajak masyarakat mengulurkan tangannya bagi orang lain.
Di tengah pandemi seperti ini harusnya bukan hanya RT dan RW yang sibuk mendata warganya. Masjid dan pengurusnya juga diharap ikut serta. Di banyak tempat masjid adalah ruang bagi komunitas warga. Masjid juga harus bisa berperan membantu warga sekitarnya, karena pengurus masjid umumnya mengenal baik warganya.
Apalagi menjelang Ramadhan. Bila biasanya masjid sibuk menyiapkan ruang bagi ibadah warga, membuat daftar penceramah dan imam sholat tarawih, kali ini pengurus masjid bisa sibuk menggalang dana untuk pembagian sembako atau mengajak warga yang biasanya jualan di bazar Ramadhan untuk menyiapkan makanan berbuka yang lebih banyak dari puasa tahun-tahun sebelumnya. Siapkan makanan berbuka yang tahan lama atau tidak cepat basi agar dapat dijadikan pula sebagai menu sahur mereka yang membutuhkan.
Satu hal yang harus diingat oleh semua orang. Pandemi corona telah meluluhlantakkan perekonomian. Tidak ada yang tahu sampai kapan kita semua harus hidup seperti ini. Karena itu bantuan apapun akan sangat berguna bagi mereka yang membutuhkan.
Tidak ada kata berhenti dalam menolong. Karena gotong royong di masyarakat adalah salah satu kunci keberhasilan penanganan corona. Kita harus ingat, corona membutuhkan kekuatan imunitas tubuh untuk bisa dilawan. Makan adalah salah satu cara menjaga imunitas tubuh. Semakin banyak orang yang sehat, mudah-mudahan penyakit ini bisa segera berlalu.
Kalau Anda membantu memberi makan untuk orang lain, berarti Anda sudah membantu menjaga negeri ini lebih kuat. Bantu dalam segara cara. Kalau bisa berdonasi, lakukanlah. Kalau sebatas hanya bisa mengawasi transparansi pembagian bantuan, lakukanlah.
Semoga corona segera berlalu...
*penulis adalah jurnalis Republika.co.id