REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany
Masih dalam suasana Hari Kartini, 21 April 2020 yang hampir setiap tahun dikenang perjuangannya oleh seluruh rakyat Indonesia. Momentum berharga karena perempuan kelahiran Jepara, 21 April ratusan tahun silam ini berhasil mendobrak tradisi penindasan pada zamannya.
Nilai-nilai yang beliau perjuangkan jelas dan mengena; soal pendidikan yang tidak setara. Maka, berbekal keberanian dan kegigihannya ia menulis dan mengungkapkan kegetirannya pada sahabat pena-nya; Nyonya Abendanon. Hingga muncullah karya yang dalam Bahasa Belanda disebut dengan Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang.
Namun, tahukah Kawan, kutipan karya-karyanya itu terinspirasi dari kitab sucinya, demikian ungkap sastrawan Armijn Pane. Ya! Alqur’an ialah sumber inspirasi terbesar Kartini untuk menyuarakan isi hati, menodbrak tradisi patriarki dan menuntut keadilan bagi kalangan pribumi. Kartini menyadari, kitab yang selama ini hanya ia baca (khususnya surah al-Fatihah) belum mampu dipahami. Jelas, karena kala itu penjajah Belanda menghalang-halangi agar makna Alqur’an tidak dikaji!
Adalah Kyai Sholeh Darat atau KH. Muhammad Sholeh Darat bin Umar As-Samarani, ulama terkemuka yang hidup pada masa penjajahan Belanda yang mengalami berbagai tantangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Suatu malam, terjadilah pertemuan antara Kartini dengan Kiai Sholeh Darat dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, pamannya. Ketika berkunjung ke rumah sang paman, RA Kartini mengikuti pengajian Mbah Sholeh Darat mengenai tafsir Surat al-Fatihah.
Kiai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir surah al-Fatihah. Sepanjang pengajian, Kartini selalu memperhatikan kata demi kata yang diurai Kiai Sholeh Darat. Ia mulai tersadar, selama ini Kartini hanya baru ‘membaca’ al-Fatihah, tanpa mengetahui makna ayat-ayat itu. Setelah pengajian, Kartini meminta pamannya untuk mendampinginya menemui Kiai Shaleh Darat dan terjadilah dialog Kartini-Kiai Shaleh,
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog, Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama menjawab. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat al-Fatihah, surat pertama dan induk Alqur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini. Kyai Shaleh tertegun. Sang Guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Betapa bersyukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alqur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Alqur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Pertemuan dengan Kartini malam itu membuahkan banyak hikmah. Salah satunya menjadi penyemangat Kyai Sholeh yang pernah menimba ilmu di Makkah sekaligus mengajar di Masjidil Haram untuk meluangkan waktu dan tenaganya demi menyususn kitab tafsir bercorak lokal dengan huruf pe’gon (bahasa Jawa dengan aksara Arab tanpa harakat). Bukan tanpa maksud penulisan kitab tafsir ini dengan huruf pe’gon, hal ini bertujuan demi mengelabui penjajah. Kyai menyadari, jika karyanya tidak ditulis dalam huruf pe’gon, penjajah pasti akan membumihanguskan kita tafsirnya itu.
Al-Qur’ān Fayḍ al-Raḥmān fī Tarjamāt Tafsīr Kalām al- Mālik al-Dayyān demikian karya tafsir yang ditulis oleh Kyai Sholeh. Al-Fayḍ berasal dari kata Fāḍa artinya meluap atau melimpah. Kitab ini merupakan tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz di mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim. Belum rampung hingga juz 30, Kyai yang telah melahirkan beberapa murid ‘alim dan masyhur ini keburu wafat. Sebut saja dua pendiri organisasi Islam terkemuka; Kiai Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama), Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) ialah murid yang pernah menuntut ilmu bersama Kyai Sholeh. Tafsir ini dicetak pertama kali di Singapura pada tahun 1894 dengan dua jilid ukuran folio.
Setelah karyanya selesai dicetak, Kiai Sholeh memberikan satu eksemplar kitab tersebut pada Kartini ketika menikah dengan Bupati Rembang, Raden Mas Joyodiningrat. Saat menerima Alqur’an terjemahan dengan bahasa Jawa itu, dengan perasaan senang Kartini berucap, "Selama ini surah al-Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai Sholeh telah menerangkan dalam bahasa Jawa yang saya pahami."
Terbantu memahami lebih banyak isi Alqur’an, Kartini terpikat pada satu ayat yang menjadi favoritnya, yakni Qs. al-Baqarah 2: 257 tersebut di atas, “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (dzhulumat) kepada cahaya (nur)…”
Dengan demikian, seperti yang diungkap di atas oleh sastrawan Armijn Pane, judul buku kumpulan surat Kartini dalam bahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), mengacu pada ayat favoritnya itu. MasyaAllah..
Selain kitab tafsir yang dihadiahkan untuk Kartini, Kiai Sholeh juga banyak menulis buku dan hampir semuanya berbahasa Jawa. Hanya sedikit kita yang beliau tulis dengan bahasa Arab karena ingin tulisannya dapat dipahami dan dicerna dengan baik oleh masyarakat setempat. Beberapa karya beliau di antaranya ialah Kitab Majmū’ah al-Syarī’ah, Al-Kāfiyah li al-‘Awwām (Buku Kumpulan Syariat yang Pantas bagi Orang Awam), Kitab Munjiyāt (Buku tentang tasawuf) yang merupakan saduran dari buku Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam Al Ghazali, Tarjamah Al-ḤikĀm (Walau hanya sepertiga kitab Al-Ḥikām karangan Syekh Ibn Ata’illah al-Askandari yang diterjemahkan oleh Kiai Sholeh Darat), Kitab Laṭā’if al-Ṭahārah (Buku tentang Rahasia Bersuci), Kitab Manāsik al-Hajj (tuntunan atau tatacara ibadah haji) dan masih banyak lagi.
Kyai Sholeh Darat wafat di Semarang pada hari Jum’at, 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun. Menyusul Kartini yang wafat setahun setelah beliau, 17 September 1904 dalam usia yang masih terbilang muda, 25 tahun. Beliau dimakamkan di Desa Bulu Kecamatan Bulu Rembang Jawa Tengah. Keduanya telah tiada, namun semangat untuk terus mengkaji dan memahami makna Al-Qur’an terus menyala. Semoga kisah keduanya terus memacu semangat kita untuk tak jemu belajar, membaca, mengkaji, memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Kartini memberi teladan bahwa Al-Qur’an ialah sebaik-baiknya pedoman. Ia adalah sumber lentera kehidupan—pemberi ketenangan sekaligus menolak berbagai penindasan dan meneguhkan keadilan.
Wallahu ta’ala> a’lam..