REPUBLIKA.CO.ID, Oleh DR Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta
Kalau kita mengkaji Islam (melalui al-Qur’an dan Hadits), maka kita akan menemukan bahwa sejatinya Islam adalah agama yang sangat mengedepankan dan menjunjung tinggi akan pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Karenanya bisa dikatakan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang adalah manakala ia sudah mampu menghadirkan Islam pada ranah sosial dan kemanusiaan.
Untuk bisa menggapai tujuan mulia tersebut, menjadi tanggung jawab kita (umat Islam) untuk bisa menghadirkan Islam secara holistic. Caranya dengan beragama melalui tahapan-tahapan yang holistic pula.
Setidaknya ada empat dimensi yang mesti dilalui untuk menggapai kesempurnaan keberagamaan kita. Pertama, dimensi spiritual, di mana seseorang didaulat untuk bersaksi dengan dua kalimat syahadat. Persaksian ini tidak hanya dimaknai secara tekstual (lafdziyah), tapi perlu juga dimaknai secara kontekstual dan membumi.
Kedua, dimensi ritual, selepas bertauhid, kita dituntut untuk melaksanakan ritual yang diperintahkan Allah dan Rasulnya, seperti salat, puasa, zakat dan haji. Ketiga, selepas menjalankan ibadah ritual, menjadi kewajiban bagi kita untuk melangkah ke dimensi berikutnya, dimensi social.
Dan keempat, dimensi kemanusiaan sebagai wujud dari implementasi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang terdapat dalam ibadah ritual (mahdhah).
Tahapan keberagamaan yang tersebut dalam realitasnya tidak terjamah secara holistic. Kebanyakan umat Islam lebih asyik dengan ritual-ritual keagamaan yang bersifat rutin, seperti salat, puasa dan haji, tanpa berusaha untuk menghadirkan nilai-nilai sosial-kemanusiaan yang terdapat dalam ibadah-ibadah ritual tersebut.
Dengan kata lain, kalau merujuk pada empat tahapan di atas, pola keberagamaan kita masih belum beranjak dari dimensi spiritual dan ritual menuju ke arah dimensi sosial dan kemanusiaan. Padahal dua dimensi yang disebut terakhir merupakan ending bagi keberagamaan seorang Muslim.
Puasa yang tengah kita jalani misalnya bisa menjadi gambaran nyata bagaimana pola keberagamaan mayoritas umat Islam. Dalam suasana normal di luar bawah Covid 19, puasa masih dominan dipahami secara ritual yang ditandai dengan berbondong-bondongnya umat mendatangi masjid-masjid, mushalla-mushalla untuk melaksanakan ritual Salat Tarawih. Masjid dan mushalla juga ramai dan penuh dengan syi’ar taddarus al-Qur’an. Salat Subuh berjamaah di masjid atau mushalla yang di luar bulan puasa paling tidak diminati terlihat begitu ramai –meskipun biasanya berlangsung hanya di awal-awal puasa.
Di musim wabah Corona, terlihat masih banyak Muslim yang ngeyel untuk Salat Tarawih di masjid maupun musholla, tadarrus al-Qur’an. Seakan ibadah yang sunah(?) seperti salat Tarawih atau tadarrus al-Qur’an di masjid nilainya lebih utama daripada menghindarkan diri dari wabah Covid 19 yang berpotensi menimbulkan kematian.
Karena pola keberagamaan yang ritualistik tersebut, maka selepas bulan puasa nyaris nilai-nilai ritualitik dari ibadah puasa belum atau bahkan tidak mampu mewarnai dalam kehidupan di masyarakat. Dan akibat dari pola keberagamaan yang ritualistik itu pula, pesan-pesan dan tujuan puasa sebagaimana difirmankan Allah swt dalam QS. Al-Baqarah: 183 pun dimaknai secara ritual pula. Taqwa sebagai tujuan akhir orang yang berpuasa dimaknai secara ritual.
Padahal kalau kita mengkaji secara kritis QS. Al-Baqarah: 183, setidaknya dengan menggunakan pendekatan Tafsir al-Mishbah karya Quraisy Shihab, maka jelas bahwa yang dimaksud taqwa dalam konteks puasa lebih berdimensi sosial dan kemanusiaan.
Dalam QS. al-Baqarah: 183 dijelaskan tentang kewajiban berpuasa, tapi soal siapa yang mewajibkan, al-Qur’an tidak menyebutkannya secara eksplisit. Ini bisa disebut sebagai bentuk penegasan akan pentingnya puasa. Sehingga andaikan raja atau presiden sekalipun yang memerintahkan puasa, maka umat pun wajib patuh untuk melaksanakannya.
Begitu pun penjelasan bahwa puasa merupakan ritual yang telah diwajibkan kepada umat sebelum umat Muhammad, semakin memperkuat pentingnya puasa. Letak pentingnya tentu bukan sekadar pada makna ritual belaka, tapi lebih dari itu, penekanannya pada pemaknaan yang lebih berdimensi sosial dan kemanusiaan.
Karena mainstream puasa umat Islam masih sebatas ritual belaka, implikasinya pun nyaris tidak berdampak pada kehidupan di masyarakat. Cermin tidak berdampaknya ibadah puasa tergambar secara kasat mata dalam kehidupan nyata di masyarakat. Korupsi, kolusi, dan kejahatan ekonomi lainnya masih merajalela dengan modus yang semakin canggih, illegal logging, perusakan lingkungan dan kejahatan sosial dan kemanusiaan lainnya semakin tak terkendali. Begitu juga angka kemiskinan obsolut yang terus meningkat, pengangguran yang terus bertambah dan daya beli masyarakat yang begitu rendah.
Kenapa ritualitas keberagamaan mesti menjadi kambing hitam atas semua kasus yang disebut di atas? Jawabnya tentu karena mayoritas bangsa ini beragama Islam. Begitu juga kalau ditilik dari ukuran-ukuran yang bersifat ritual keagamaan, umat kita sangat religius. Pejabat-pejabat kita mulai tingkat pusat sampai kecamatan mayoritas bergelar haji, bahkan ada yang berulang kali menunaikan ibadah haji. Kalau datang peringatan hari besar Islam kenegaraan para pejabat kita juga duduknya di barisan paling depan.
Selama pola keberagamaan kita masih dominan berdimensi ritualistik, selama itu pula pola keberagamaan tersebut tidak akan berdampak pada dimensi sosial dan kemanusiaan. Karenanya menjadi keharusan bagi kita umat Islam untuk mengubah atau lebih tepatnya mendekonstruksi pola keberagamaan yang bersifat ritualistik menuju ke arah yang lebih fungsional dan berdimensi sosial dan kemanusiaan.
Sebab hanya dengan beragama secara fungsional, kehadiran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan lebih dirasakan, utamanya bagi mereka (apapun agamanya) yang selama ini secara fungsional belum atau bahkan tidak merasakan “keberfungsian” agama (Islam) itu sendiri.
Kaum miskin (dzu’afa), kaum yang dimiskinkan (mustadz’afin) dan kelompok marjinal lainnya adalah mereka yang selama ini tidak merasakan “keberfungsian” agama. Mereka inilah korban dari keterpasungan agama. Agama telah diposisikan sebagai candu yang meninabobokan melalui ritualitas keagamaan yang mereka lakukan.
Mereka inilah yang misalnya dalam konteks puasa sebenarnya secara fungsional “tidak diwajibkan” atau bahkan “diharamkan” untuk berpuasa. Wallahu’alam.