REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ibadah puasa merupakan ibadah yang disyariatkan pada setiap risalah para nabi yang diutus kepada umat manusia. Di masa Rasulullah Muhammad SAW, ibadah puasa disyariatkan dalam beberapa tahapan.
Isnan Ansory, Lc, MAg dalam bukunya Puasa: Antara Yang Masyru dan Tidak Masyru menyampaikan setidaknya ada tiga fase pensyariatan puasa pada masa Rasulullah SAW. Tiga fase puasa tersebut sebagaimana terangkum dalam perkataan Muadz bin Jabal RA berikut ini:
Dari Mu’adz bin Jabal ra: Dahulu Rasulullah senantiasa berpuasa tiga hari setiap bulan, dan puasa di hari Asyura. Lalu turunlah wahyu, “Diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS Al Baqarah: 183). Maka ditetapkan, bagi yang hendak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang hendak tidak berpuasa dan memberi fidyah, hal itu dibolehkan. (HR Abu Dawud).
Fase Pertama: Bitsah- Pra Tahun Kedua.
Puasa ini kata Isnan, setelah Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul, disyariatkan kepada beliau dalam bentuk syariat yang wajib untuk dilakukan beliau dan para shahabat. Dua jenis puasa, yaitu puasa ‘Asyura pada 10 Muharram dan puasa sebanyak tiga hari pada setiap bulannya.
"Dengan demikian, dalam satu tahun setidaknya diwajibkan pada fase ini ibadah puasa selama 37 hari," katanya.
Ketentuan ini berdasarkan hadits. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata: “Nabi SAW melaksanakan puasa hari Asyura (10 Muharam) lalu memerintahkan (para sahabat) untuk melaksanakannya pula. Setelah Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan, maka puasa hari Asyura ditinggalkan. (HR Bukhari).
Fase Kedua terjadi di tahun ke-2 Hijriyyah setelah turun perintah untuk berpuasa Ramadhan, lantas Nabi SAW memberikan pilihan kepada para shahabat antara yang ingin berpuasa Asyura atau tidak. Dalam arti, selain puasa Ramadhan, ditetapkan puasa lainnya sebagai amalan sunnah.
Dari Aisyah RA, bahwa orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliyah biasa melaksanakan puasa hari Asyura. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakannya pula hingga datang kewajiban shaum Ramadhan. Dan kemudian Rasulullah saw bersabda: "Siapa yang mau melaksanakannya (puasa Asyura) silakan dan siapa yang tidak mau juga tidak apa.” (HR Bukhari Muslim).
Hanya saja, kata dia, perintah puasa Ramadhan tersebut masih bersifat pilihan. Di mana, bagi yang mampu untuk berpuasa, masih diberikan pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah. Sebagaimana pernyataan Muadz berikut.
Dari Mu’adz bin Jabal RA: … Lalu turunlah wahyu, “Diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS al-Baqarah: 183). Maka ditetapkan, bagi yang hendak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang hendak tidak berpuasa danmemberi fidyah, hal itu dibolehkan. (HR Abu Dawud).
Fase ketiga: Tahun 2 Hijriyyah
Pada tahun ke-2 Hijriyah, setelah turun QS Al-Baqarah: 185, lantas puasa Ramadhan diwajibkan bagi yang mampu. Dan bagi yang tidak mampu, tetap dibolehkan untuk tidak berpuasa, dengan cara menggantinya dengan membayar fidyah.
"Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Alquran sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelas atas petunjuk tersebut serta sebagai al-furqan pembeda antara hak dan batil. Maka barang siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah. (QS. Al-Baqarah: 185).
Puasa marupakan salah satu ibadah yang memiliki nilai pahala besar dalam syariat Islam. Bahkan secara khusus, syariat menginformasikan secara gamblang akan janji surga yang dikhususkan bagi ahli puasa.
Dari Sahal RA: Dari Nabi saw: Dalam surga ada sebuah pintu yang disebut pintu ar-Rayyan. Yang masuk melalui pintu itu di hari kiamat hanyalah orang-orang yang berpuasa, yang lainnya tidak
masuk lewat pintu itu. Dan diserukan saat itu, "Manakah orang-orang yang berpuasa?.” Maka mereka yang berpuasa bangun untuk memasukinya, sedangkan yang lain tidak. Bilamana merea telah masuk, maka pintu itu ditutup dan tidak ada lagi yang bisa memasukinya.” (HR Bukhari Muslim).